Rabu, 14 Mei 2014

MAKALAH MANAJEMEN REPRODUKSI DAN PEMULIAAN SAPI PERAH


MAKALAH MANAJEMEN REPRODUKSI DAN PEMULIAAN SAPI PERAH



I.                                           PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Kebutuhan akan produk peternakan sekarang ini sangat tinggi. Masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan pentingnya kebutuhan protein hewani dalam mencukupi kebutuhan nutrisinya. Produk peternakan adalah produk yang sangat primer. Sebagai contoh yaitu daging, telur susu merupakan produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Untuk saat ini banyak kalangan yang beranggapan bahwa dunia peternakan adalah dunia yang kurang mempunyai prospek ke depan. Salah satunya adalah usaha sapi perah.
Keberlanjutan usaha sapi perah memerlukan adanya bibit, bibit yang dimaksud adalah bibit unggul yang mudah diperoleh. Program pembibitan dilakukan dengan melaksanakan program pemuliaan (seleksi dan persilangan) dan memperbaiki performa reproduksi. Performa reproduksi sapi perah tidak hanya tergantung pada gen-gen yang dimiliki ternak. Keadaan lingkungan juga turut menunjang munculnya performa reproduksi secara optomal. Pada iklim mikro yang berbeda reproduksi ternak didaerah tropis dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembaban dan pakan yang tersedia bagi ternak. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi serta kondisi pakan yang buruk menghambat laju reproduksi. Laju reproduksi yang rendah akan membatasi program seleksi.
Reproduksi sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti menurunkan produksi susu harian dan laktasi sapi produktif, meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta memperlambat kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis. Banyak faktor mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang sering kali sulit diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses reproduksi dapat berlangsung tidak sempurna disebabkan kontribusi berbagai faktor, sehingga berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak terlahir dengan selamat.
1.2         Tujuan
1.2.1        mengetahui managemen breeding ternak sapi perah.
1.2.2        Mengetahui managemen perawatan ternak sapi perah.
1.2.3        Mengetahui managemen pakan dan sistem perkandangan ternak sapi perah.
1.2.4        Mengetahui penjagaan kesehatan ternak sapi perah.
1.3 Manfaat
1.3.1 Memberikan informasi management breeding sapi perah.
1.3.2 Memberikan informasi mengenai managemen perawatan, pemberian pakan, sistem perkandangan dan penjagaan kesehatan sapi perah.
1.4 Rumusan Masalah
1.4.1 Bagaimana perkembangan populasi dan produktivtas sapi perah?
1.4.2 Bagaimana manajemen pemeliharaan sapi perah di BBPTU Baturraden?


II. PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Populasi dan Produktivitas Sapi  Perah
Perkembangan sapi perah Indonesia dalam dasawarsa terakhir jumlahnya sangat fluktuasi dengan tingkat perkembangan yang cukup baik, rata-rata 1,2 persen pertahun (wilayah Asia hanya 0,48 persen dan dunia 0,51 persen). Kondisi ini menunjukan bahwa perbaikan kualitas sapi perah telah berjalan searah dengan  berjalannya waktu meskipun belum mencapai angka optimal. Banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu bibit sapi perah salah satunya adalah melaluli grading up  baik ari pejantan yang dipakai untuk mengawini sapi betina, maupun melalui bibit sapi betina yang dihasilkan dari BBPTU Sapi Perah Baturraden. Data perkembangan populasi sapi perah di tahun 2008 mencapai 407.767 ribu (Statistik Peternakan, 2009).
Populasi sapi perah 2009 diproyeksikan berjumlah 423,8 ribu ekor dengan asumsi tidak ada tambahan dari import sehingga untuk replacement dan penambahan populasi hanya mengandalkan keturunan dari sapi yang ada sekarang. Sejauh ini dimasyarakat belum tersedia sumber bibit sapi perah yang baik. Sehingga, tanpa adanya upaya dari pemerintah untuk mendesain pola pemulabiakan dan program sapi perah yang baik maka hampir bisa dipastikan bahwa produktivitas sapi perah di Indonesia kedepannya akan menurun. Pandangan mengenai produktivitas sapi di peternakan dianggap tinggi, namun sebenarnya masih bersifat individual artinya bahwa secara keseluruhan belum menunjukan rataan produksi seperti apa yang diharapkan. Salah satu hal yang cukup mendasar adalah peternak mengalami kesulitan untuk mendapatkan bibit sapi yang baik pada saat akan melakukan replacement.
Berdasarkan pengembangan dan penerapan pemuliaan ternak, peningkatan produksi ternak dan bibit dilaksanakan lewat beberapa strategi dan taktik. Beberapa taktik yang sering digunakan antara lain, perbaikan tata laksana, program pencatatan produksi, teknik inseminasi buatan, serta penyerempakan birahi (Warwick dan Legates, 1979).
2.2 Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah
Pemeliharaan sapi perah adalah penyelenggaraan semua kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan dan kelanjutan hidup dari ternak sapi perah. Ada tiga hal penting yang harus di perhatikan dalam pemeliharaan budidaya sapi perah yang saling terkait atu sama lain, diantaranya pemeliharaan (budidaya), pakan dan pembibitan. Dalam pemeliharaan kita memberikan perlakuan atau pelayanan terhadap ternak sapi sedemikian rupa sehingga kebituhan psikologis dan biologis dapat terpenuhi. Dalam proses pemeliharaan kita berbuat sedemikian rupa sehingga ternak sapi perah dalam keadaan sehat, tentram, cukup makan (baik jumlah maupun kualitasnya), serta dapat beranak setiap tahun dengan produksi susu yang berkualitas tinggi.
Bangsa sapi perah yang ada di BBPTU Baturraden adalah jenis Peranakan Fries Holland (PFH). Berasal dari persilangan sapi asli Indonesia dengan sappi FH. Hasil persilangan ini lebih terkenal dengan nama sapi Grati. Banyak diternakan didaerah Jawa Timur yaitu di Grati. Ciri-ciri fisik sapi PFH menyerupai sapi FH serta produksi relatif lebih rendah dibandingkan sapi FH. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, pola pemeliharaan sapi perah harus memperhatikan hal-hal berikut : 1) Penyiapan sarana dan peralatan tertutama perkandangan. 2) Pembibitan dan pemeliharaan bakalan/bibit. 3) kesehatan dan sanitasi. 4) manajemen pemberian pakan.
1.      Persiapan sarana dan peralatan terutama perkandangan
Perencanaan suatu bangunan kandang sapi perah, lokasi dan bangunan tersebut        merupakan pertimbangan utama dan perlu diperhatikan. Perkandangan merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal ternak selama proses pemeliharaan. Soetarno (2003), setiap usaha peternakan pasti akan membutuhkan fasilitas yang harus ada yaitu kandang guna melindungi sapi dari derasnya hujan, kencangnya angin dan dinginnya udara malam hari terutama di daerah pengunungan, panasnya matahari serta keamanan dari gangguan binatang. Kandang sapi perah biasanya telah dilengkapi saluran pembuangan kotoran berupa selokan kecil yang memanjang di bagian belakang posisi sapi. Sementara di bagian depan kandang dilengkapi dengan tempat pakan (Setiawan, 2007). Menurut Siregar (1990), tipe kandang ada dua yaitu konvensional dan bebas. Tipe konvensional berupa kandang yang ditempatkan pada satu jajaran yang masing-masing dibatasi oleh suatu penyekat, sedangkan kandang bebas berupa ruangan yang luas tanpa ada penyekat di antara sapi perah.
2.      Pembibitan dan pemeliharaan bakalan.
Pemilihan bibit sapi perah meliputi pemilihan bibit dara yang nantinya akan menghasilkan produksi susu dan pemilihan bibit pejantan. Pemilihan Bibit Dara Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bibit sapi perah betina dewasa adalah: (a) produksi susu tinggi, (b) umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah beranak, (c) berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai keturunan produksi susu tinggi, (d) bentuk tubuhnya seperti baji, (e) matanya bercahaya, punggung lurus, bentuk kepala baik, jarak kaki depan atau kaki belakang cukup lebar serta kaki kuat, (f) ambing cukup besar, pertautan pada tubuh cukup baik, apabila diraba lunak, kulit halus, vena susu banyak, panjang dan berkelok-kelok,puting susu tidak lebih dari 4, terletak dalam segi empat yang simetris dan tidak terlalu pendek, (g) tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit menular, dan (h) tiap tahun beranak.
3.      Kesehatan dan Sanitasi
Sapi perah harus mendapatkan perawatan kesehatan secara teratur. Beberapa program kesehatan yang harus diperhatikan yaitu pencegahan penyakit yang meliputi karantina dan isolasi, vaksinasi, deworming,tindakan higinie, pemotongan kuku dan pemandian sapi (Rukmana, 2009). Pada BBPTU Baturraden tidak dilakukannya vaksinasi, dikarenakan vaksinasi telah dilakukan di kandang isolasi sewaktu ternak diimport.
Usaha pencegahan penyakit yaitu sebelum kandang ditempati terlebih dahulu disiram dengan air kapur supaya bebas dari bibit penyakit, memandikan ternak setiap pukul 07.00 dan siang pukul 13.00, membersihkan kandang dan selokan. Desinfeksi dilakukan dua kali seminggu dengan cara menyemprotkan ke seluruh bagian kandang. Desinfektan berupa snifet dan formalin. Penyediaan obat tergantung kondisi lapangan, bila persediaan obat habis maka dapat dibeli obat pada saat diperlukan. Penyakit yang sering diderita yaitu diare dan batuk. Bila ternak terkena diare maka diberi vitamin B12 atau obat tradisional dan teh. Untuk penyakit batuk diberi antibiotik dan untuk pernafasan diberikan Tilosivet.
4.      Managemen Pemberian Pakan
Pemberian pakan dilakuan dua kali seharian yaitu pagi pukul 08.00 dan siang pukul 14.00. Kemudian bila pakan dalam tempat pakan habis maka ditambah sore hari sekitar pukul 16.00 sesuai dengan kebutuhannya. Pemberian berdasarkan umur dan berat badan. Pakan diberikan secara penuh. Pemberian pakan pada sapi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu sistem penggembalaan, kereman dan kombinasi antara keduannya.
Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauannya berupa lamtoro, rumput benggala, rumput raja atau rumput gajah. Hijauan diberikan siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan 10% dari bobot badan dan pakan tambahan 1-2 % dari berat badan. Sapi yang sedang menyusui memerlukan pakan tambahan 25% hijauan dan konsentrat. Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan kacang-kacangan. Pemberian pakan konsentrat sebaknya dilakukan pada pagi dan sore hari sebelum sapi di perah sebanyak 1-2kg/ekor/hari. Selain makanan sapi harus diberi minum sebanyak 10% dari bobot badannya (Aninomous, 2005).
2.3 Manajemen Reproduksi
            Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup dimulai sejak bersatunya sel telur makhluk hidup betina dan sel mani jantan menjadi makhluk hidup baru yang disebut zigot disusul dengan kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran (Hardjoprandjoto, 1995). Perkawinan yang dilakukan untuk ternak secara kawin buatan atau IB. Triwulanningsih et al. (2009), reproduksi merupakan suatu barometer untuk menilai kehidupan normal seekor ternak. Teknologi reproduksi pada ternak meliputi inseminasi buatan, transfer embrio, fertilisasi in vitro. IB adalah bioteknologi reproduksi yang telah terbukti dapat meningkatkan mutu genetik ternak dan dapat diterima oleh masyarakat, sehingga IB dilaksanakan secara swadaya. IB merupakan cara ampuh untuk mengatasi kekurangan pejantan dan meningkatkan produktivitas ternak baik secara kualitatif dan kuantitatif.
Umur sapi dara pertama kali dikawinkan berkisar 1,3 sampai 1,6 tahun dengan berat badan sekitar 350 sampai 400 Kg, sehingga diharapkan dapat mendukung kebuntingan. Pengamatan tanda-tanda visual birahi sangat penting, sehingga dapat dikawinkan. Sapi perah merupakan yang memiliki tujuan untuk diambil (diperah) susunya sehingga proses kebuntingan menjadi
sangat penting karena ternak kan menghasilkan susu ketika mereka telah beranak. Semen beku PFH dapat diperoleh dari BIB (Balai Inseminasi Buatan) singosari.
            Efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat diukur semata-mata oleh proporsi ternak yang tidak mampu memproduksi anak (salisbury dan Vandemark, 1985). Secara kuantitatif kesuburan ternak sering dinyatakan dengan sebagai jumlah perkawinan per konsepsi (service per conseption) dan jarak beranak (calving interval). Jarak beranak ideal selama 365 hari. Umunya hal ini sulit untuk di capai para kelompok tani ternak, namun banyak dijumpai pada individu api dengan tata laksana baik (Toelihere, 1985). Meskipun demikian untuk mendapatkan jarak beranak 365 hari, perlu diupayakan sapi betina sudah bunting kembali dalam 80-90 hari setelah beranak (anggraeni, 2008).
Dinyatakan Hardjopranjoto (1995) salah satu ukuran yang menandakan adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan sapi perah adalah masa kosong yang melebihi 120 hari. Interval perkawinan setelah beranak dan interval antara satu ke perkawinan selanjutnya sampai menghasilkan kebuntingan merupakan dua komponen utama dari masa kosong, sehingga sangat menentukan selang beranak (Stevenson, 2001). Jika semua faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu tersebut dapat dikondisikan secara baik, diharapkan produksi susu akan meningkat.



Direktorat jenderal peternakan. 2009. Statistik peternakan 2009 direktorat jenderal peternakan, depertemen pertanian. Jakarta.
Warwijk, E.J. and ajisumarno. 1991. Ilmu pemuliaan ternak. Fakultas peternakan. Universitas jenderal soedirman. Purwokerto.
Setiawan, Putra. 2007. Proses Pembuatan Pupuk Kompos Organik.
Grasindo. Jakarta.
 Soetarno, T. 2003. Manjemen Budidaya Sapi Perah. Laboratorium Ternak
Perah. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Anninomous. 2005. Petunjuk praktis beternak sapi perah. Penerbit kanisus. Hardjopranjoto.s. 1995. Ilmu kemajiran pada ternak. Airlangga university press. Surabaya. Toelihere. M.r. 1985. Fisiologi dan reproduksi pada ternak. Penerbit angkasa . bandung ANGGRAENI, A. 2008. Indeks reproduksi sebagai faktor penentu efisiensi reproduksi sapi perah: Fokus kajian pada sapi perah Bos taurus. Pro. Semiloka Nasional: Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Kerjasama Puslitbang Peternakan dan STEKPI.

STEVENSON, J.S. 2001. Reproductive management of dairy cows in high milk-producing herds. J. Dairy Sci. 84(E.Suppl.): E128 – E143.

Salisbury, g.w dan N.L.Vandemark .1985. fisiologi reproduksi dan inseminasi buatan. Gadjah mada university press. Yogyakarta.

SIREGAR, A.R., P. SITUMORANG, M. BOER, G. MUKTI, J. BESTARI dan M. PURBA. 1990. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) dalam usaha peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong nasional di Provinsi Sumatra Barat. Puslitbang Peternakan, Bogor.

Triwulaningsih, E., T. Susilawati, dan Kustono. 2009. Reproduksi dan inovasi teknologi reproduksi : Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar