Selasa, 23 Desember 2014

MAKALAH MANAJEMEN PERKANDANGAN DAN REPRODUKSI SAPI PERAH



I.                   PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kebutuhan akan produk peternakan sekarang ini sangat tinggi. Masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan pentingnya kebutuhan protein hewani dalam mencukupi kebutuhan nutrisinya. Produk peternakan adalah produk yang sangat primer. Sebagai contoh yaitu daging, telur susu merupakan produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Untuk saat ini banyak kalangan yang beranggapan bahwa dunia peternakan adalah dunia yang kurang mempunyai prospek ke depan. Salah satunya adalah usaha sapi perah.
Keberlanjutan usaha sapi perah memerlukan adanya bibit, bibit yang dimaksud adalah bibit unggul yang mudah diperoleh. Program pembibitan dilakukan dengan melaksanakan program pemuliaan (seleksi dan persilangan) dan memperbaiki performa reproduksi. Performa reproduksi sapi perah tidak hanya tergantung pada gen-gen yang dimiliki ternak. Keadaan lingkungan juga turut menunjang munculnya performa reproduksi secara optomal. Pada iklim mikro yang berbeda reproduksi ternak didaerah tropis dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembaban dan pakan yang tersedia bagi ternak. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi serta kondisi pakan yang buruk menghambat laju reproduksi. Laju reproduksi yang rendah akan membatasi program seleksi.
Reproduksi sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti menurunkan produksi susu harian dan laktasi sapi produktif, meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta memperlambat kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis. Banyak faktor mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang sering kali sulit diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses reproduksi dapat berlangsung tidak sempurna disebabkan kontribusi berbagai faktor, sehingga berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak terlahir dengan selamat.
Kandang merupakan bangunan yang digunakan untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan kepada ternak terhadap hujan, radiasi matahari, derasnya aliran angin dan bahaya dari gangguan ternak lain sehingga proses fisiologis ternak dapat berlangsung secara optimal. Beberapa persyaratan kandang sapi perah: penerangan yang cukup, cukup mendapatkan sinar matahari, ventilasi dan sirkulasi udara baik, sumber air mudah dijangkau, efektif dan efesien dalam penggunaan tenaga kerja, proses pembuangan feces dan kotoran lainnya, baik padat maupun cair dapat berlangsung dengan baik, lantai tidak licin dan tidak digenangi air, ukuran tepat, ternak leluasa bergerak, tempat pakan dan minum yang memadai, fasilitas jalan dan sarana prasarana mendukung. Pada pemeliharaan sapi perah, jika memungkinkan penempatan sapi dapat dikelompokkan berdasarkan produktivitasnya sehingga memudahkan dalam manajemen pemeliharaannya. Sapi yang sudah tidak produktif dapat diafkir segera agar tidak membebankan peternak dalam pembiayaan. Jika ternak terserang penyakit sebaiknya dipisahkan pada kandang isolasi agar tidak menular pada ternak lainnya. Segera laporkan kepada petugas medis/paramedis dari dinas/puskeswan jika tidak bisa menangani penyakit tersebut
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui managemen reproduksi sapi perah
1.2.2  Mengetahui managemen pakan dan sistem perkandangan ternak sapi perah
























II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen reproduksi
Manajemen reproduksi pada peternakan sapi perah lebih difokuskan pada pengaturan perkawinan. Manajemen/pengaturan perkawinan ini dapat meliputi beberapa aspek, yaitu identifikasi sapi, pemeliharaan masa pedet sampai dengan dara, pengaturan perkawinan pada saat laktasi dan metode perkawinan. Jumlah sapi yang bunting sebaiknya tidak kurang dari 60% jumlah sapi dewasa. Hal ini dimaksudkan agar produksi susu dapat dipertahankan sepanjang waktu, sehingga tidak terjadi masa banjir susu dan masa kering. Sebaiknya, 40-60 hari setelah beranak, sapi dikawinkan kembali. Perkawinan sapi-sapi tersebut tidak boleh lebih dari 3 bulan setelah beranak. Sementara itu, sapi perkawinan yang berproduksi tinggi dapat dilaksanakan sampai dengan 4bulan masa laktasi (Sudono, 1999). Periode birahi rata-rata 21 hari sekali, tetapi dapat pula sapi-sapi yang memiliki periode birahi bervariasi dari 17-26 hari. Lama masa birahi ini berlangsung selama 6-36 jam dengan rata-rata 18 jam untuk sapi betina dewasadan 15 jam untuk sapi dara. Tanda-tanda sapi birahi harus diketahui oleh para peternak sapi perah untuk menjamin keberhasilan setiap perkawinan, sehingga sapi-sapinya dapat beranak setahun sekali. Kondisi ini sangat penting untuk menjamin kelangsungan produksi susu dalam suatu peternakan sapi perah.
Perkawinan alami dilakukan oleh seekor pejantan yang langsung memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina dengan cara kopulasi. Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah itu pejantan melakukan penetrasi. Tanda-tanda umum sapi perah yang sedang birahi adalah sebagai berikut:
  1. Sapi betina akan menaiki sapi betina lain.
  2. Sapi gelisah dan berjalan mondar-mandir.
  3. Keluar cairan kental, jernih dan berkaca-kaca dari vagina nya.
  4. Kemaluan (vulva) berwarna merah, bengkak dan hangat.
            Sapi dara yang berahi, tidak langsung dikawinkan, melainkan diperiksa kondisi fisiologinya, yaitu dengan melihat bobot badan sebagai acuan bahwa sapi dara tersebut sudah dewasa kelamin. Menurut Lindsay et al. (1982) pada beberapa keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil pada waktu melahirkan maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak betina pada saat pubertas mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan pada saat pubertas (Nuryadi, 2006). Hal ini berarti bahwa bobot badan lebih berperan terhadap pemunculan pubertas daripada umur ternak. Umur dan bobot badan pubertas dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik. Walaupun umur dari sapi dara sudah cukup untuk dikawinkan atau dengan kata lain sudah mengalami dewasa tubuh tidak berarti mengalami dewasa kelamin.
            Perkawinan buatan sering dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB) atau Artificial Insemination (AI) yaitu dengan cara memasukkan sperma kedalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan peralatan khusus (Blakely dan Bade, 1998). Melalui inseminasi buatan (IB), sapi tersebut menunjukkan gejala-gejala berahi dan mencocokkan data yang ada dalam satu siklus.
            Secara fisiologis, berlangsungnya siklus berahi ini melibatkan aktivitas sistem syaraf dan sistem hormonal dalam tubuh sapi, sehingga dapat dikatakan bahwa reproduksi sapi berlangsung secara neuro hormonal. Jika sapi tersebut masuk dalam pengecekkan satu siklus berahi (rata-rata 18 - 23 hari), tanda chalking orange pada pangkal ekor menghilang, vulva terlihat bengkak, panas, dan merah maka sapi tersebut dapat dikawinkan, untuk memastikan estrus lebih tepat lagi, cervic dapat diraba, jika agak keras (tegang) maka sapi tersebut positif estrus dan dikawinkan sebelum terlambat.Lamanya sapi berahi sangat bervariasi yaitu berkisar 6-30 jam (Lubis, 2006), dengan rataan 17 jam.
2.2 Manajemen perkandangan
Kandang merupakan tempat tinggal ternak sepanjang waktu, sehingga pembangunan kandang sebagai salah satu faktor lingkungan hidup ternak, harus bisa menjamin hidup yang sehat dan nyaman. Dengan kandang, pengamatan terhadap pencuri sapi akan lebih terjaga, selain itu kandang yang di bangun harus dapat menunjang peternak baik dalam segi ekonomis maupun segi kemudahan dalam pemeliharaan ternak. Sehingga diharapkan dengan adanya bangunan kandang ini sapi tidak berkeliaran di sembarang tempat dan kotorannya pun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin (Sugeng, 2003).
Pengaturan ventilasi sangat penting untuk dicermati.  Dinding kandang dapat dibuka dan ditutup, sehingga sebaiknya pada siang hari dibuka dan pada malam hari ditutup. Kandang di dataran rendah dibangun lebih tinggi dibandingkan dengan kandang di dataran tinggi atau pegunungan. Bangunan kandang yang dibuat tinggi akan berefek pada lancarnya sirkulasi udara di dalamnya. Di daerah dataran tinggi, bangunan kandang dibuat lebih tertutup, tujuannya agar suhu di dalam kandang lebih stabil dan hangat (Sarwono dan Arianto, 2002). Kontruksi kandang pedet berbeda dengan kandang sapi dewasa, terutama mengenai perlengkapan dan ukuran luas kandang. Kandang pedet dapat dibedakan antara kandang individual dan kelompok (Triyanton, 2009).
Perkandangan merupakan suatu lokasi atau lahan khusus yang diperuntukkan sebagai sentra kegiatan peternakan yang di dalamnya terdiri atas bangunan utama (kandang), bangunan penunjang (kantor, gudang pakan, kandang isolasi) dan perlengkapan lainnya (Sugeng, 2003). Kandang sapi perah terdiri atas kandang untuk sapi induk, kandang pejantan, kandang pedet serta kandang isolasi (Williamson dan Payne, 1993


























III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL
3.1.1 Hasil manajemen reproduksi sapi perah
Dewasa kelamin : 9 bulan
Dewasa tubuh : 15 bulan
Dikawinkan : lebih dari 15 bulan, bobot badan ±270 kg.
Waktu dikawinkan : 6 jam setelah sapi menunjukan tanda-tanda birahi
Involusi uteri : 60 hari
Calving interval : 13 bulan
s/c : 1,5-1,7
kriteria pejantan : silsilah keturunan baik, tidak mempunyai riwayat penyakit menular, pertumbuhan tidak terhambat, scrotum simetris, tidak letoy.
3.1.2 Hasil manajemen perkandangan sapi perah
  

  

3.2 Pembahasan
3.2.1 Pembahasan perkandangan
            Kandang merupakan bangunan yang digunakan untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan kepada ternak terhadap hujan, radiasi matahari, derasnya aliran angin dan bahaya dari gangguan ternak lain sehingga proses fisiologis ternak dapat berlangsung secara optimal.
A.    kandang pedet
Setiap ruangan kandang cukup dipisahkan dengan sekat – sekat yang berasal dari bahan besi atau pipa – pipa bulat, ataupun bambu dan kayu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak melukai kulit pedet, tinggi penyekat cukup satu meter. Ukuran kandang individu untuk pedet umur 0 sampai dengan 4 minggu adalah 0, 75 x 1, 5 m dan umur 4 sampai dengan 8 minggu 1,0 x 1,8 m (Anonimus, 1995). Hal tersebut sesuai dengan yang kami lihat di BPPTU Baturraden bahwa kandang pedet individual dipisahkan dengan sekat akan teapi bukan berasal dari bahan yang disebutkan di atas, melainkan dari semen. Pada lantai kandang pedet yang berumur dibawah satu bulan diberi alas serbuk gergaji yang berfungsi sebagai penghangat untuk pedet.
Menurut konstruksinya kandang sapi perah dapat dibedakan menjadi dua yaitu kandang tunggal yang terdiri atas satu baris dan kandang ganda yang terdiri atas dua baris yang saling berhadapan (Head to Head ) atau berlawanan (Tail to Tail) (Reksohadiprodjo, 1984). Menurut hasil yang diperoleh, kandang pedet yang digunakan di BPPTU Baturaden yaitu dua baris saling berhadapan (Head to Head). Untuk kandang pedet yang berumur dibawah satu bulan, pedet hanya mengkonsumsi susu sehingga didalam kandang tersedia tempat untuk memasukan tempat minum yang berupa lingkaran seperti ring terbuat dari besi. Sedangkan untuk kandang pedet yang berumur lebih dari satu bulan tersedia tempat pakan karena pedet sudah mulai mengkonsumsi rumput.
B.     kandang sapi dara
Kandang sapi dara (8 bulan – 2 tahun) dapat dibuat dengan sistem koloni agar memudahkan pengontrolan saat birahi. Namun, jika kandang khusus sapi dara ini tidak ada (karena tidak mungkin dibuat akibat lahan yang terbatas), sapi dara bisa ditempatkan di kandang sapi dewasa. Kandang per ekor sapi adalah panjangnya 180 – 200 cm, lebar 135 – 140 cm, lebar saluran kotoran 30 – 40 cm, dan lebar tempat pakan 80 – 100 cm (Setiawan, 2000). Tempat pakan kandang sapi dara di BBPTU-HPT yang menggunakan sistem freestall dan ada yang menggunakan sistem tradisional. Kandang sapi dara yang ditempatkan di kandang freestall tentu saja memiliki banyak kesempatan untuk melakukan exercise dan mengoptimalkan sistem reproduksinya.
C.     Manajemen Kandang Sapi Laktasi
Kegunaan bangunan kandang sangat penting sebab fungsi kandang  untuk menghindari ternak dari terik matahari, hujan, terpaan angin, dan  gangguan binatang buas atau ancaman dari luar (Sugeng, 2001). Kandang  yang berada di. Experimental Farm sudah cukup baik sebab sirkulasi udara dapat keluar masuk dangan lancar dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga keadaan kandang tidak terlalu lembab. Kelembaban yang ada di dalam kandang berkisar 65-93% dan di luar kandang sekitar 66-94%. Keadaan ini tidak sesuai karena kelembaban yang ideal adalah 60-70 % (Sudono et al., 2003).
Konstruksi kandang dapat mempermudah aktivitas pekerja kandang dalam pemberian pakan, pembersihan dan pemerahan (Mulyana, 1985). Konstruksi kandang sapi perah laktasi yang ada di BBPTU-HPT sesuai dengan pernyataan di atas karena menggunakan sistem freestall. Sistem freestall selain memberikan manfaat seperti diata, juga mengurangi risiko abortus karena terdapat ruang exercise di dalam kandangnya.
Kelebihan lain yang ada di BPPTU yaitu memiliki milking parlor. Himam (2008), sistem bangsal pemerahan (milking parlor system) berlangsung di suatu bangsal atau ruang khusus yang disiapkan untuk pemerahan. Di bangsal ini ditempatkan beberapa mesin perah. Setiap satu mesin melayani seekor sapi. Susu hasil pemerahan langsung ditampung di tangki pendingin (cooling unit) sesudah melalui tabung pengukur produksi yang terdapat pada setiap mesin. Sapi yang akan diperah digiring ke bangsal pemerah melalui suatu ternpat (holding area) yang luasnya terbatas dan sapi berdesakan. Di holding area sapi dibersihkan dengan sprayer dari segala arah. Selanjutnya sapi satu per satu masuk bangsal (milking parlor). Hal di atas sesuai dengan yang dilakukan di BPPTU, akan tetapi ukuran bangsal tersebut tidak terlalu besar. Hal tersebut menyebabkan pemerahan memakan waktu yang lebih lama.

3.2.1 Pembahasan reproduksi
Reproduksi pada sapi perah FH betina ditandai dengan timbulnya berahi pertama dan kesanggupan untuk menghasilakan sel telur, dan pada sapi jantan ditandai dengan kemampuan berkopulasi dan menghasilkan sel sperma. Performan reproduksi sapi perah tergantung pada gen-gen yang dimiliki ternak dan lingkunagan. Reproduksi ternak didaerah tropis dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembapan dan pakan yang tersedia bagi ternak. pada kondisi tropis di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembapan yang tinggi sangat menghambat reproduksi. Batas suhu kritis minimum sapi FH -27 sampai 29oC dan batas suhu kritis maksimum sapi FH 25-26oC. laju reproduksi yang rendah akan membatasi program seleksi. (Agustina. 2001). Menurut Sudono (1999), sapi-sapi dara dapat dikawinkan untuk yang pertama pada umur 15 bulan dan ukuran tubuhnya cukup besar dengan bobot badan kurang lebih 275 kg.


A.    Masa Berahi dan Inseminasi Buatan (IB)
Siklus birahi merupakan fase-fase birahi yang terjadi pada satu birahi dengan birahi berikutnya. Siklus Birahi dibagi menjadi 4 fase : 
  1. Proestrus 
Merupakan periode persiapan yang ditandai dengan pemacuan per­tumbuhan folikel oleh FSH. Follikel menghasilkan cairan folikel dan estradiol (estrogen) yang lebih banyak. Peningkatan  vaskularisasi pada saluran reproduksi, vulva membengkak dan vestibulum menjadi berwarna merah terang. Cervix membesar dan menghasilkan lendir Proestrus berlansung 2 - 3 hari. Sakiyah (2013) Menambahkan bahwa Pada pemeriksaan perektal, sapi-sapi yang proestrus terlihat menciri dengan tonus uteri meningkat, tegang, dan teraba melingkar. Servik mengalami relaksasi gradual dan makin banyak mucus yang tebal. Vulva membengkak, keluar leleran jernih transparan. Ovarium pada fase ini akan teraba corpus albikan yang berasal dari korpus luteum yang mengalami atropi, mengecil dan diganti oleh masa yang menyerupai tenunan pengikat. Corpus albikan ini teraba sangat keras dan kecil. Pada fase ini juga akan teraba folikel de graaf yang tumbuh cepat oleh pengaruh FSH, mulai matang dan akan mencapai puncaknya pada fase estrus dan akhirnya folikel tersebut akan mengovulasikan sebuah ovum pada waktu 10-15 jam sesudah akhir estrus
2.      Estrus / birahi / heat 
Saat dimana ternak betina tidak menolak pejantan untuk melakukan aktivitas reproduksi atau kopulasi.  Estrus ditandai  : 
-          sapi sering mengoek/melenguh
-          gelisah / tidak tenang
-          vulva membengkak  
-          vestibulum berwarna merah tua
-          pembengkakan hebat dan penjuluran lipatan-lipatan selaput lendir cervix
-          pengeluaran lendir dari vulva yang mudah melekat, jernih dan kental
Selama periode ini folikel terus membesar dengan cepat. Pada sapi betina ovulasi tidak terjadi sampai birahi usai. Tetapi estrus bisa dimanipulasi dg mempercepat estrus. Putri (2014) menyatakan bahwa Kegiatan sinkronisasi estrus ini bertujuan memanipulasi siklus estrus (siklus birahi) untuk menimbulkan gejala estrus dan ovulasi pada ternak sapi secara bersamaan sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan inseminasi buatan dan efisiensi deteksi estrus. Preparat yang digunakan dalam sinkronisasi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk prostaglandin F2α (PGF2α). Pemberian PGF2α menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis melalui corpora lutea sehingga terjadi regresi corpus luteum. Dengan dilakukannya sinkronisasi estrus maka inseminasi dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan, memudahkan pemanfaatan teknik transfer embrio, memudahkan dalam mendeteksi estrus, kebutuhan pejantan dapat diperkecil, dan musim beranak dapat dipersingkat.
3.      Metestrus atau postestrus
Ditandai dengan berhentinya birahi secara mendadak. Ovulasi terjadi, rongga folikel berangsur mengecil dan pengeluaran lendir berhenti. Suwandi (2006), menambahkan menjelang pertengahan sampai akhir metestrus, uterus menjadi agak lunak karena pengendoran otot uterus. Kontraksi uterus intermitten. Folikel sudah mengalami ovulasi. Ovarium akan teraba cekung karena folikel mengalami ovulasi dan terbentuk korpus luteum baru dengan konsitensi menyerupai jantung. Tiga ekor sapi dalam fase metestrus awal, dimana korpus luteum belum terbentuk dan pada ovarium akan teraba ada cekungan bekas ovum yang sudah diovulasikan dari folikel yang sudah matang. Pada fase ini sekresi mukus vagina berkurang dan epithel karunkula uterus hiperemis.
4.      Diestrus
Korpus Luteum berkembang dengan sempurna dan pengaruh hormon yang dihasilkan, progesteron tanpak pada dinding uterus. Endometrium menebal, kelenjar dan urat daging uterus berkembang sebagai persiapan uterus untuk menampung dan memberi makan embrio dan pembentukan plasenta. Diestrus ini akan berlansung selama kebuntingan. Bila ovum tidak dibuahi kurpus luteum  akan tetap berfungsi selama kurang lebih 19 hari. Pada hewan tertentu fase-fase siklus birahi ini ditambah lagi fase yang disebut Anestrus, yaitu kondisi dimana sistem reproduksi ternak beristirahat. Perkembangan folikel tidak ada, uterus kecil dan anemis, cervix mengecil. Contoh hewan yang mempunyai fase anestrus : anjing, kucing dan kuda. Pada fase ini ovarium didominasi oleh korpus luteum yang teraba dengan bentuk permukaan yang tidak rata, menonjol keluar serta konsistensinya agak keras dari korpus luteum pada fase metestrus. Korpus luteum ini tetap sampai hari ke 17 atau 18 dari siklus estrus. Uterus pada fase ini dalam keadaan relak dan servik dalam kondisi mengalami kontriksi. Fase diestrus biasanya diikuti pertumbuhan folikel pertama tapi akhirnya mengalami atresia sedangkan pertumbuhan folikel kedua nantinya akan mengalami ovulasi.
Sistem reproduksi memiliki 4 dasar yaitu untuk menghasikan sel telur yang membawa setengah dari sifat genetik keturunan, untuk menyediakan tempat pembuahan selama pemberian nutrisi dan perkembangan fetus dan untuk mekanisme kelahiran. Lokasi sistem reproduksi terletak paralel diatas rektum. Sistem reproduksi dalam terdiri dari ovari, oviduct, dan uterus.Ovari merupakan organ reproduki yang penting. Terdapat dua ovari yaitu sebelah kanan dan kiri. Besarnya sekitar 1,5 inci dengan tebal sekitar 1 inci dan terletak di dalam suatu membran seperti kantungn ovarian bursa. Ovari bertanggung jawab pada sekresi hormon estrogen dan progesterone dan produksi telur yang baik untuk dibuahi. Telur-telur mulai matang di ovari dalam suatu cairan berisi folikel. Pertumbuhan folikel diatur oleh hormon pituitary, yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH). Selanjutnya sel yang mana dibatasi oleh folikel dan dikelilingi sel telur akan mensekresikan estrogen untuk merespon jumlah hormone pituitary hormone lainnya meningkat yaitu Luteinizing Hormone (LH). Jumlah estrogen mencapai maksimum pada saat fase standing heat. Diikuti dengan meningginya LH pada telur yang dilepaskan dari folikel dan ovulasi yang terjadi. ( Syakiri, 2005).
Oviduct merupakan tabung panjang yang menghubungkan ovari dengan uterus. Di ujung terdekat ovari, oviduct dilebarkan ke dalam infundibulum. Selama fase estrus, posisi infundibulum mengelilingi ovari untuk menjaga sel telur yang terovulasi di dalam oviduct. Oleh karena itu, di dalam oviduct, sel telur berjalan ke arah uterus (Shearer, 2008).
 Lama siklus birahi 
Lama siklus birahi sapi antara 18 - 24 hari dengan rata-rata 21 hari. Lama siklus birahi pada kuda 20 - 23 hari, akan lebih panjang pada musim semi dan akan lebih pendek pada bulan juni sampai september.
Lama Birahi
Pada sapi, lama birahi berkisar antara 6 - 30 jam dengan rata-rata 12 jam. Sapi dewasa rata-rata birahi selama 19,3 jam, sapi dara rata-rata birahi selama 16.1 jam. Rata-rata birahi kambing 24 jam.
Tanda Birahi :
-          ada lendir transparan di vulva
-          gelisah
-          melenguh/mengoek
-          sering kencing
-          betina diam bila dinaiki pejantan
-          abang, abu, angat (vulva memerah, membengkak dan hangat.
Penyimpangan birahi 
       Penyimpangan birahi terjadi bila ada perubahan hormonal  atau kelainan yang terjadi di ovarium.  contohnya Sapi perah betina masih ada yang birahi sampai kebuntingan triwulan kedua dan kejadi­an itu normal  ± 30 % dari populasi. Penyimpangan yang lain adalah hewan tidak birahi dan juga tidak bunting karena adanya cyste ovari.  Secara tidak langsung kemajuan peternakan sapi perah, ditentukan oleh ketepatan kita dalam menentukan berahi pada sapi. Masalahnya tersebut dapat dimaklum, sebab apabila saat berahi dapat diketahui dengan tempat dan pasti, maka pelaksanaan IB (Inseminasi Buatan kawi suntik) akan dapat dilakukan dengan baik dan tepat. Dengan demikian kemungkinan bunting akan lebih tinggi dan pula kemungkinan angka kelahiran yang lebih tinggi akan kita peroleh (AAK, 1995).
Pelaksanaan IB pada sapi perah harus mampu menghasilkan selang beranak yang tidak kurang dan tidak lebih dari setahun dengan panjang laktasi yang optimal, yakni sekitar 10 bulan (Barret dan Larkin, 1974).  Seperti kita ketahui bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan perkawinan, ini berarti bahwa apabila sapi sudah dikawikan tidaklah berarti bahwa sapi tersebut pasti bunting. Karena hal tersebut perlu kita lakukan tindakan pengontrolan ulang, yaitu mengmati tanda-tanda berahi pada 21 hari kemudian  Peternak atau petugas teknis sapi perah harus mengetahui tanda-tanda berahi, karena sangat penting dalam penentuan waktu perkawinan yang tepat dan keberhasilan IB. sehingga diharapkan setahun sekali sapi-sapinya beranak. Hal ini sangat penting untuk menjamin kelangsungan bibit sapi perah dan produksi susu (Sudono, 2004).
Beberapa faktor yang memenuhi keberhasilan Inseminasi buatan diantaranya:
1.      Kondisi betina, meliputi kesehatan dan anatomi organ reproduksi, Body Condition Score (BCS), lingkungan dan pakan, ektoparasit dan endoparasit.
2.      Spermatozoa, dilihat dari total seperma yang motil (% motilitas dan konsentrasinya)
3.      Ketetapan waktu IB (siklus berahi)
4.      Penepatan posisi semen saat IB (tepat di depan cervik ± 3 cm).
Inseminasi buatan yang baik dilaksanakan 6-24 jam setelah timbulnya berahi. Sedangkan proses IB yang dilakukan di BBPTU Baturaden dilakukan 6 jam setelah birahi. Berahi pada sapi biasanya ditandai oleh alat kelamin luar (vagina) berwarna merah, bengkak dan keluarnya lendir jernih serta tingkah laku sapi yang menaiki sapi lain. Straw yang digunakan untuk pelaksanaan IB di BBPTU Baturaden berasal dari New Zealand dan Australia, karena di BBPTU Baturaden pembibitan diusahakan adalah jenis sapi FH murni.
Parameter IB yang dapat dijadikan tolak ukur guna mengevaluasi efisiensi reproduksi sapi perah betina yaitu Days Open (DO), service per conception (S/C), Calving interval interval (CI). Semua parameter tersebut merupakan evaluasi dari peranan teknologi IB yang diketahui dapat berpengaruh terhadap peningkatan populasi sapi perah yang nantinya mampu untuk meningkatkan produksi khususnya produk susu (Atabany dkk., 2011). Keberhasilan IB dapat dievaluasi berdasarkan beberapa parameter yakni DO, S/C dan CI. Ada ketetapan yang dijadikan acuan untuk beberapa parameter tersebut, untuk DO yang baik berada pada kisaran 40-60 hari (Stevenson, 2001); S/C yang baik adalah 1,6–2,0 (Jainudeen and Hafez, 2008); sedangkan CI yang baik adalah ± 365 hari (Ball dan Peters, 2004). Beberapa parameter tersebut mampu mendeskripsikan hasil evaluasi IB yang nantinya mampu menyimpulkan apakah IB yang dilakukan sudah baik ataukah perlu perbaikan.
            Pelaksanaan IB di BBPTU bisa juga mengalami kegagalan, faktor-faktor yang menjadi penyebabnya antara lain ketidaktepatan waktu mengawinkan, keterlembatan dalam mengetahui tanda-tanda birahi, keterampilan inseminator, kualitas semen, peralatan yang digunakan untuk IB. Menurut Gumilar, dkk (2012). Pelaksanaan IB dilakukan oleh inseminator yang telah memiliki pengalaman menginseminasi cukup lama. Selain itu, semua inseminator memiliki keahlian untuk ATR, PKB dan handling semen.
Di BBPTU Baturaden selain menggunakan Inseminasi Buatan juga pernah menggunakan teknologi reproduksi Embrio Transfer. Menurut Hardjosubroto (1994), menyatakan bahwa keberhasilan transfer embrio dipengaruhi oleh kondisi sapi donor, sapi resipien, kualitas embrio yang dihasilkan dan pelaksanaan TE dari donor keresipien. Sapi yang digunakan untuk resipien sebaiknya mempunyai umur yang masih muda terutama sapi dara. Sapi resipien harus memiliki mutu genetik yang  baik dan berasal dari bangsa yang sama, tetapi harus mempunyai organ dan siklus berahi yang normal, tidak pernah mengalami kesulitan melahirkan, sehat serta bebas dari infeksi saluran kelamin.
Superovulasi dan sinkronisasi birahi biasanya dilakukan pada sapi perah sebelum dilakukan Transfer embrio. Superovulasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ovum  lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormon dari luar , untuk merangsang terjadinya ovulasi ganda, maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Penyerentakan Berahi dalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi nestrus umumnya menggunakan hormone prostaglandin F2a (PGF2a) atau kombinasi hormone progesterone dengan PGF2a.
Penerapan TE merupakn alternative untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik sapi secar cepat. Teknologi TE pad sapi meraupakan generasi kedua boiteknologi reproduksi setelah inseminasi biuatan (IB). pada prinsipnya TE adalah rekayasa fungsi alat reproduksi sapi betiona unggul dengan hormone super ovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Sel telur hasil ovulasi ini akan dibuiahi oleh spermatozoa unggul melalui tekik IB  sehingga terbentuk embrio yang unggul. Embrio yang diperoleh dari ternak sapi donor, dikoleksi dan diovulasi, kemidian ditransfer keinduk sapi resipien sampai terjadi kelahiran (Warwick,1991). Keunggulan teknologi transfer embrio dibandingkan inseminasi buatan adalah:
1.      Perbaikan mutu genetik pada IB hanya berasal dari pejantan unggul sedangkan dengan teknologi TE, sifat unggul dapat berasal dari pejantan dan induk yang unggul.
2.      Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh derajat kemurnian yang tinggi dengan TE jauh lebih cepat dibandingkan dengan IB dan kawin alam. Dengan teknik TE, seekor betina unggul dapat menghasilkan lebih dari 20-30 ekor pedet unggul per tahun, sedangkan dengan IB, hanya dapat menghasilkan satu pedet selama satu tahun.
3.      Melalui teknik TE dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar, dengan jalan menteransfer setiap tanduk uterus dengan satu embrio.


B.     KEBUNTINGAN
Lama kebuntingan pada sapi perah di BBPTU Baturaden adalah 9 bulan seperti kebanyakan sapi pada umumnya. Lama bunting diusahakan tidak jauh dari 9 bulan agar siklus reproduksi sapi perah tersebut tetap baik dan tidak berpengaruh buruk terhadap kualitas anak yang dihasilkan. Oleh karena itu sapi perah yang sedang bunting harus diperhatikan baik dari manajemen kesehatan, manajemen pakan, manajemen kandang dan sebagainya. Untuk kebutuhan sapi perah bunting jelas berbeda dengan sapi perah tidak bunting. Sapi perah yang sedang bunting akan mendapat perlakuan yang lebih untuk menjaga calon anak yang sedang dikandung sapi induk tersebut.
Panjang pendeknya kebuntingan dipengaruhi oleh jenis sapi, jenis kelamin anak yang dikandungnya, jumlah anak dalam kandungan dan faktor lain seperti umur induk, musim, sifat genetik, frekuensi beranak dan letak geografis (Salisbury dan Van Demark, 1985).. Panjang pendeknya kebuntingan juga dapat mempengaruhi variasi jarak beranak. Semakin panjang lama bunting, semakin panjang pula jarak beranak karena lama bunting dapat mempengaruhi rata-rata jumlah anak yang dilahirkan tiap tahun.
C.     PERSIAPAN KELAHIRAN
Periode kebuntingan berbeda dari bangsa ternak tertentu. Lama kebuntingan pada sapi rata-rata 280 hari dengan variasi antara 274-291 hari. Berdasarkan tanggal kawin terakhir dan hasil kebuntingan maka dapat diperkirakan tanggal perkirakan beranak. Pada saat menjelang kelahiran, peternak atau petugas ternak sapi harus mempersiapkan kondisi lingkungan yang bersih, hygienis, tenang dan nyaman. Hal ini sangat penting bagi induk dan pedet yang dilahirkan, sehingga kelahiran menjadilebih lancer dan induk maupun anaknya terhindar dari infeksi penyakit (Anonimous. 1995)
Toelihere (2006), mengatakan bahwa tanda-tanda induk yang akan melahirkan menunjukan kelainan tingkah laku dan perubahan fisik sebagai berikut:
  1. Ambing membesar, keras dan kencang.
  2. Sapi Nampak gelisah karena kesakitan , maka induk sedikit –sedikit berlendir, kemudian berbaring kembali.
  3. Sapi sering kencing
  4. Kaki belakan sulit digerakan dan posisi kedua kaki tersebut terbuka agak keluar
  5. Bibir kemaluan membesar
  6. Tubuh tampak memanjang, sedangkan peut turun kebawah
Jika putting dipijit, pertama –tama keluar cairan berwarna seperti air kental, semudian berubah menjadi susu biasa.
           

           
           









IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN

a. Manajemen reproduksi sapi perah di BBPTU cukup baik. Hal tersebut dilihat dari pengaturan siklus reproduksi.

4.2. SARAN
a. Pengaturan reproduksi meggunakan kalender reproduksi merupakan salah satu cara terbaik, agar target sapi untuk bereproduksi bisa tercapai. Sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi peternak.
















DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisus. Yogyakarta
Atabany, A., B.P. Purwanto, T. Toharmat dan A. Anggraeni. 2011. Hubungan Masa Kosong Dengan Produktivitas Pada Sapi Perah Friesian Holstein Di Baturraden, Indonesia. Media Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor 34 (2) : 77 - 82.
Blakely; J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Penerjemah B.
Gumilar, Achmad Subhi.2012. “ Tampilan Reproduksi Sapi Perah pada Berbagai Paritas Di Wilayah KUD Batu”. Jurnal Animal Science.
Hardiana, Agung. 2009. Manajemen Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Dilapangan. Gramedia. Jakarta.
Insemination of cattle. W. H. Freeman and Co. San Fransisco.
Jainudeen, M.R. and Hafez, E.S.E. 2008. Cattle And Buffalo dalam Reproduction In Farm Animals. 7th Edition. Edited by Hafez E. S. E. Lippincott Williams & Wilkins. Maryland. USA. 159 : 171.
Lindsay D.R, Enwistle K.W dan Winantea A. 1982. Reproduksi Ternak di Indonesia. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Brawijaya: Malang
Lubis, O.P, 2006. Makalah Seminar Pelatihan Inseminator pada Sapi/Kerbau BIB Singosari: Malang
Nuryadi. 2006. Dasar-Dasar Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya: Malang
Putria, Arni Nadhirah, Sri Suharyatib, Purnama Edi Santosab . 2014. “Pengaruh Paritas Terhadap Persentase Estrus Dan Kebuntingan Sapi Peranakan Ongole Yang Disinkronisasi Estrus Menggunakan Prostaglandin F2α (Pgf2α)”. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, Vol 2, No.1
Sakiyah, putri, Ramdani Dani, dan A. Suta. 2013. ‘’ Pengaruh Penyuntikan Progesterone Dan Estrogen Pada Sapi Perah Untuk Mempercepat Estrus’’. Jurnal Veteriner, Vol 3, No 2.
Salisbury G.W, Vanbemark N.L. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Salisbury, G. W., dan L. Van Demark, J. R. 1985. Physiology of Reproduction  and Artifical
Shearer. 2008. Manajemen Reproduksi Ternak Ruminansia. Gajah Madja press. Yogyakarta.
Sorensen, A.M. 1975. Animal Reproduction: Principles and Practices.
Srigandono. Penyunting Sudarsono. Gadjah Mada University Press.
Stevenson, J.S. 2001. Reproductive Management of Dairy Cows in High Milk-Producing Herds. Journal Dairy Science. 84 (3): 128-143.
Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. IPB. Bogor.
Sudono, Adi., Rosdiana, R. Fina dan setiawan Budi S. 2004. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia, pustaka.
Syakiri, anis. 2005. Manajemen Reproduksi dan Pemuliaan Ternak. Universitas Pertanian Bogor. Bogor.
Toelihere, Mozes R. 2006. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi Dan Kerbau. Universitas Indonesia press.
Warwick, E.J. dan Adjie Soemarmono. 1991.  Ilmu Pemuliaan Ternak. Fakultas peternakn universitas jenderal soedirman, purwokerto, iindonesia
Yogyakarta.









MAKALAH
MANAJEMEN TERNAK PERAH
MANAJEMEN REPRODUKSI DAN PERKANDANGAN SAPI PERAH
DI BBPTU-HPT BATURADDEN






 











Disusun Oleh:
Kelompok IB

Arif Mardianto                        D1E012006
Eko Purwanto                         D1E012007
Umi Fadilah                            D1E012013
Ismi Nurfatikha                       D1E012019
Mardiyah                                 D1E012023
Rika Dini A.                            D1E012025
Dede Masopah                        D1E012031
Winda Juliyanti                       D1E012033













KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2014