I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kebutuhan
akan produk peternakan sekarang ini sangat tinggi. Masyarakat Indonesia sudah
mulai sadar akan pentingnya kebutuhan protein hewani dalam mencukupi kebutuhan
nutrisinya. Produk peternakan adalah produk yang sangat primer. Sebagai contoh
yaitu daging, telur susu merupakan produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Untuk saat ini banyak kalangan yang beranggapan bahwa dunia peternakan adalah
dunia yang kurang mempunyai prospek ke depan. Salah satunya adalah usaha sapi
perah.
Keberlanjutan
usaha sapi perah memerlukan adanya bibit, bibit yang dimaksud adalah bibit
unggul yang mudah diperoleh. Program pembibitan dilakukan dengan melaksanakan
program pemuliaan (seleksi dan persilangan) dan memperbaiki performa
reproduksi. Performa reproduksi sapi perah tidak hanya tergantung pada gen-gen
yang dimiliki ternak. Keadaan lingkungan juga turut menunjang munculnya
performa reproduksi secara optomal. Pada iklim mikro yang berbeda reproduksi
ternak didaerah tropis dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembaban dan pakan
yang tersedia bagi ternak. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi serta
kondisi pakan yang buruk menghambat laju reproduksi. Laju reproduksi yang
rendah akan membatasi program seleksi.
Reproduksi
sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan sapi perah.
Inefisiensi reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai
kerugian seperti menurunkan produksi susu harian dan laktasi sapi produktif,
meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta
memperlambat kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis. Banyak faktor
mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang sering kali sulit
diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses reproduksi dapat
berlangsung tidak sempurna disebabkan kontribusi berbagai faktor, sehingga
berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak terlahir dengan selamat.
Kandang
merupakan bangunan yang digunakan untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan
kepada ternak terhadap hujan, radiasi matahari, derasnya aliran angin dan
bahaya dari gangguan ternak lain sehingga proses fisiologis ternak dapat
berlangsung secara optimal. Beberapa persyaratan kandang sapi perah: penerangan
yang cukup, cukup mendapatkan sinar matahari, ventilasi dan sirkulasi udara
baik, sumber air mudah dijangkau, efektif dan efesien dalam penggunaan tenaga
kerja, proses pembuangan feces dan kotoran lainnya, baik padat maupun cair
dapat berlangsung dengan baik, lantai tidak licin dan tidak digenangi air,
ukuran tepat, ternak leluasa bergerak, tempat pakan dan minum yang memadai,
fasilitas jalan dan sarana prasarana mendukung. Pada pemeliharaan sapi perah,
jika memungkinkan penempatan sapi dapat dikelompokkan berdasarkan
produktivitasnya sehingga memudahkan dalam manajemen pemeliharaannya. Sapi yang
sudah tidak produktif dapat diafkir segera agar tidak membebankan
peternak dalam pembiayaan. Jika ternak terserang penyakit sebaiknya dipisahkan
pada kandang isolasi agar tidak menular pada ternak lainnya. Segera laporkan
kepada petugas medis/paramedis dari dinas/puskeswan jika tidak bisa menangani
penyakit tersebut
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui managemen reproduksi sapi perah
1.2.2 Mengetahui managemen
pakan dan sistem perkandangan ternak sapi perah
II.TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Manajemen reproduksi
Manajemen reproduksi
pada peternakan sapi perah lebih difokuskan pada pengaturan perkawinan.
Manajemen/pengaturan perkawinan ini dapat meliputi beberapa aspek, yaitu
identifikasi sapi, pemeliharaan masa pedet sampai dengan dara, pengaturan
perkawinan pada saat laktasi dan metode perkawinan. Jumlah sapi yang bunting
sebaiknya tidak kurang dari 60% jumlah sapi dewasa. Hal ini dimaksudkan agar
produksi susu dapat dipertahankan sepanjang waktu, sehingga tidak terjadi masa
banjir susu dan masa kering. Sebaiknya, 40-60 hari setelah beranak, sapi
dikawinkan kembali. Perkawinan sapi-sapi tersebut tidak boleh lebih dari 3
bulan setelah beranak. Sementara itu, sapi perkawinan yang berproduksi tinggi
dapat dilaksanakan sampai dengan 4bulan masa laktasi (Sudono, 1999).
Periode birahi rata-rata 21 hari sekali, tetapi dapat pula sapi-sapi yang
memiliki periode birahi bervariasi dari 17-26 hari. Lama masa birahi ini
berlangsung selama 6-36 jam dengan rata-rata 18 jam untuk sapi betina dewasadan
15 jam untuk sapi dara. Tanda-tanda sapi birahi harus diketahui oleh para
peternak sapi perah untuk menjamin keberhasilan setiap perkawinan, sehingga
sapi-sapinya dapat beranak setahun sekali. Kondisi ini sangat penting untuk
menjamin kelangsungan produksi susu dalam suatu peternakan sapi perah.
Perkawinan alami dilakukan oleh
seekor pejantan yang langsung memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina
dengan cara kopulasi. Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina
dengan menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar
setelah itu pejantan melakukan penetrasi. Tanda-tanda umum sapi perah yang
sedang birahi adalah sebagai berikut:
- Sapi betina akan menaiki sapi betina lain.
- Sapi gelisah dan berjalan mondar-mandir.
- Keluar cairan kental, jernih dan berkaca-kaca dari vagina nya.
- Kemaluan (vulva) berwarna merah, bengkak dan hangat.
Sapi dara yang berahi, tidak langsung dikawinkan, melainkan diperiksa kondisi
fisiologinya, yaitu dengan melihat bobot badan sebagai acuan bahwa sapi dara
tersebut sudah dewasa kelamin. Menurut Lindsay et al. (1982) pada beberapa
keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar induk tidak
terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil pada waktu melahirkan
maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak betina pada saat pubertas
mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan pada saat pubertas
(Nuryadi, 2006). Hal ini berarti bahwa bobot badan lebih berperan terhadap
pemunculan pubertas daripada umur ternak. Umur dan bobot badan pubertas
dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik. Walaupun umur dari sapi dara sudah
cukup untuk dikawinkan atau dengan kata lain sudah mengalami dewasa tubuh tidak
berarti mengalami dewasa kelamin.
Perkawinan
buatan sering dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB) atau Artificial
Insemination (AI) yaitu dengan cara memasukkan sperma kedalam saluran
reproduksi betina dengan menggunakan peralatan khusus (Blakely dan Bade, 1998).
Melalui inseminasi buatan (IB), sapi tersebut menunjukkan gejala-gejala berahi
dan mencocokkan data yang ada dalam satu siklus.
Secara
fisiologis, berlangsungnya siklus berahi ini melibatkan aktivitas sistem syaraf
dan sistem hormonal dalam tubuh sapi, sehingga dapat dikatakan bahwa reproduksi
sapi berlangsung secara neuro hormonal. Jika sapi tersebut masuk dalam
pengecekkan satu siklus berahi (rata-rata 18 - 23 hari), tanda chalking orange
pada pangkal ekor menghilang, vulva terlihat bengkak, panas, dan merah maka
sapi tersebut dapat dikawinkan, untuk memastikan estrus lebih tepat lagi,
cervic dapat diraba, jika agak keras (tegang) maka sapi tersebut positif estrus
dan dikawinkan sebelum terlambat.Lamanya sapi berahi sangat bervariasi yaitu
berkisar 6-30 jam (Lubis, 2006), dengan rataan 17 jam.
2.2
Manajemen perkandangan
Kandang merupakan tempat tinggal ternak
sepanjang waktu, sehingga pembangunan kandang sebagai salah satu faktor
lingkungan hidup ternak, harus bisa menjamin hidup yang sehat dan nyaman.
Dengan kandang, pengamatan terhadap pencuri sapi akan lebih terjaga, selain itu
kandang yang di bangun harus dapat menunjang peternak baik dalam segi ekonomis
maupun segi kemudahan dalam pemeliharaan ternak. Sehingga diharapkan dengan
adanya bangunan kandang ini sapi tidak berkeliaran di sembarang tempat dan
kotorannya pun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin (Sugeng, 2003).
Pengaturan ventilasi sangat penting
untuk dicermati. Dinding kandang dapat
dibuka dan ditutup, sehingga sebaiknya pada siang hari dibuka dan pada malam
hari ditutup. Kandang di dataran rendah dibangun lebih tinggi dibandingkan
dengan kandang di dataran tinggi atau pegunungan. Bangunan kandang yang dibuat
tinggi akan berefek pada lancarnya sirkulasi udara di dalamnya. Di daerah
dataran tinggi, bangunan kandang dibuat lebih tertutup, tujuannya agar suhu di
dalam kandang lebih stabil dan hangat (Sarwono dan Arianto, 2002). Kontruksi
kandang pedet berbeda dengan kandang sapi dewasa, terutama mengenai
perlengkapan dan ukuran luas kandang. Kandang pedet dapat dibedakan antara kandang
individual dan kelompok (Triyanton, 2009).
Perkandangan merupakan suatu lokasi atau lahan
khusus yang diperuntukkan sebagai sentra kegiatan peternakan yang di dalamnya
terdiri atas bangunan utama (kandang), bangunan penunjang (kantor, gudang
pakan, kandang isolasi) dan perlengkapan lainnya (Sugeng, 2003). Kandang sapi
perah terdiri atas kandang untuk sapi induk, kandang pejantan, kandang pedet
serta kandang isolasi (Williamson dan Payne, 1993
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASIL
3.1.1 Hasil
manajemen reproduksi sapi perah
Dewasa kelamin : 9 bulan
Dewasa tubuh : 15 bulan
Dikawinkan : lebih dari 15 bulan, bobot badan ±270 kg.
Waktu dikawinkan : 6 jam setelah sapi menunjukan tanda-tanda birahi
Involusi uteri : 60 hari
Calving interval : 13 bulan
s/c : 1,5-1,7
kriteria pejantan : silsilah
keturunan baik, tidak mempunyai riwayat penyakit menular, pertumbuhan tidak
terhambat, scrotum simetris, tidak letoy.
3.1.2 Hasil
manajemen perkandangan sapi perah
3.2
Pembahasan
3.2.1
Pembahasan perkandangan
Kandang
merupakan bangunan yang digunakan untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan
kepada ternak terhadap hujan, radiasi matahari, derasnya aliran angin dan
bahaya dari gangguan ternak lain sehingga proses fisiologis ternak dapat
berlangsung secara optimal.
A. kandang
pedet
Setiap ruangan kandang cukup dipisahkan
dengan sekat – sekat yang berasal dari bahan besi atau pipa – pipa bulat,
ataupun bambu dan kayu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak melukai
kulit pedet, tinggi penyekat cukup satu meter. Ukuran kandang individu untuk
pedet umur 0 sampai dengan 4 minggu adalah 0, 75 x 1, 5 m dan umur 4 sampai
dengan 8 minggu 1,0 x 1,8 m (Anonimus, 1995). Hal tersebut sesuai dengan yang
kami lihat di BPPTU Baturraden bahwa kandang pedet individual dipisahkan dengan
sekat akan teapi bukan berasal dari bahan yang disebutkan di atas, melainkan
dari semen. Pada lantai kandang pedet yang berumur dibawah satu bulan diberi
alas serbuk gergaji yang berfungsi sebagai penghangat untuk pedet.
Menurut konstruksinya kandang sapi perah
dapat dibedakan menjadi dua yaitu kandang tunggal yang terdiri atas satu baris
dan kandang ganda yang terdiri atas dua baris yang saling berhadapan (Head
to Head ) atau berlawanan (Tail to Tail) (Reksohadiprodjo, 1984).
Menurut hasil yang diperoleh, kandang pedet yang digunakan di BPPTU Baturaden
yaitu dua baris saling berhadapan (Head to Head). Untuk kandang pedet yang
berumur dibawah satu bulan, pedet hanya mengkonsumsi susu sehingga didalam
kandang tersedia tempat untuk memasukan tempat minum yang berupa lingkaran
seperti ring terbuat dari besi. Sedangkan untuk kandang pedet yang berumur
lebih dari satu bulan tersedia tempat pakan karena pedet sudah mulai
mengkonsumsi rumput.
B.
kandang sapi dara
Kandang sapi dara (8
bulan – 2 tahun) dapat dibuat dengan sistem koloni agar memudahkan pengontrolan
saat birahi. Namun, jika kandang khusus sapi dara ini tidak ada (karena tidak
mungkin dibuat akibat lahan yang terbatas), sapi dara bisa ditempatkan di kandang
sapi dewasa. Kandang per ekor sapi adalah panjangnya 180 – 200 cm, lebar 135 –
140 cm, lebar saluran kotoran 30 – 40 cm, dan lebar tempat pakan 80 – 100 cm
(Setiawan, 2000). Tempat pakan kandang sapi dara di BBPTU-HPT yang menggunakan
sistem freestall dan ada yang menggunakan sistem tradisional. Kandang sapi dara
yang ditempatkan di kandang freestall tentu saja memiliki banyak kesempatan
untuk melakukan exercise dan
mengoptimalkan sistem reproduksinya.
C. Manajemen
Kandang Sapi Laktasi
Kegunaan bangunan kandang
sangat penting sebab fungsi kandang
untuk menghindari ternak dari terik matahari, hujan, terpaan angin,
dan gangguan binatang buas atau ancaman
dari luar (Sugeng, 2001). Kandang yang
berada di. Experimental Farm sudah cukup baik sebab sirkulasi udara dapat
keluar masuk dangan lancar dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga
keadaan kandang tidak terlalu lembab. Kelembaban yang ada di dalam kandang
berkisar 65-93% dan di luar kandang sekitar 66-94%. Keadaan ini tidak sesuai
karena kelembaban yang ideal adalah 60-70 % (Sudono et al., 2003).
Konstruksi kandang dapat mempermudah
aktivitas pekerja kandang dalam pemberian pakan, pembersihan dan pemerahan
(Mulyana, 1985). Konstruksi kandang sapi perah laktasi yang ada di BBPTU-HPT
sesuai dengan pernyataan di atas karena menggunakan sistem freestall. Sistem
freestall selain memberikan manfaat seperti diata, juga mengurangi risiko
abortus karena terdapat ruang exercise
di dalam kandangnya.
Kelebihan lain yang ada
di BPPTU yaitu memiliki milking parlor.
Himam (2008), sistem bangsal pemerahan (milking
parlor system) berlangsung di suatu bangsal atau ruang khusus yang
disiapkan untuk pemerahan. Di bangsal ini ditempatkan beberapa mesin perah.
Setiap satu mesin melayani seekor sapi. Susu hasil pemerahan langsung ditampung
di tangki pendingin (cooling unit)
sesudah melalui tabung pengukur produksi yang terdapat pada setiap mesin. Sapi
yang akan diperah digiring ke bangsal pemerah melalui suatu ternpat (holding area) yang luasnya terbatas dan
sapi berdesakan. Di holding area sapi
dibersihkan dengan sprayer dari
segala arah. Selanjutnya sapi satu per satu masuk bangsal (milking parlor). Hal di atas sesuai dengan yang dilakukan di BPPTU,
akan tetapi ukuran bangsal tersebut tidak terlalu besar. Hal tersebut
menyebabkan pemerahan memakan waktu yang lebih lama.
3.2.1
Pembahasan reproduksi
Reproduksi pada sapi perah FH betina
ditandai dengan timbulnya berahi pertama dan kesanggupan untuk menghasilakan
sel telur, dan pada sapi jantan ditandai dengan kemampuan berkopulasi dan
menghasilkan sel sperma. Performan reproduksi sapi perah
tergantung pada gen-gen yang dimiliki ternak dan lingkunagan. Reproduksi ternak
didaerah tropis dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembapan dan pakan yang
tersedia bagi ternak. pada kondisi tropis di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
suhu dan kelembapan yang tinggi sangat menghambat reproduksi. Batas suhu kritis
minimum sapi FH -27 sampai 29oC dan batas suhu kritis maksimum sapi
FH 25-26oC. laju reproduksi yang rendah akan membatasi program
seleksi. (Agustina. 2001). Menurut Sudono (1999), sapi-sapi dara
dapat dikawinkan untuk yang pertama pada umur 15 bulan dan ukuran tubuhnya
cukup besar dengan bobot badan kurang lebih 275 kg.
A.
Masa Berahi dan Inseminasi Buatan
(IB)
Siklus birahi merupakan fase-fase birahi yang terjadi pada satu birahi dengan
birahi berikutnya. Siklus Birahi dibagi menjadi 4
fase :
- Proestrus
Merupakan periode persiapan yang ditandai dengan pemacuan pertumbuhan
folikel oleh FSH. Follikel menghasilkan cairan folikel dan estradiol (estrogen)
yang lebih banyak. Peningkatan vaskularisasi pada saluran
reproduksi, vulva membengkak dan vestibulum menjadi berwarna merah
terang. Cervix membesar dan menghasilkan lendir Proestrus
berlansung 2 - 3 hari. Sakiyah (2013) Menambahkan bahwa Pada pemeriksaan
perektal, sapi-sapi yang proestrus terlihat menciri dengan tonus uteri
meningkat, tegang, dan teraba melingkar. Servik mengalami relaksasi gradual dan
makin banyak mucus yang tebal. Vulva membengkak, keluar leleran jernih
transparan. Ovarium pada fase ini akan teraba corpus albikan yang berasal dari
korpus luteum yang mengalami atropi, mengecil dan diganti oleh masa yang
menyerupai tenunan pengikat. Corpus albikan ini teraba sangat keras dan kecil.
Pada fase ini juga akan teraba folikel de graaf yang tumbuh cepat oleh pengaruh
FSH, mulai matang dan akan mencapai puncaknya pada fase estrus dan akhirnya
folikel tersebut akan mengovulasikan sebuah ovum pada waktu 10-15 jam sesudah
akhir estrus
2.
Estrus /
birahi / heat
Saat dimana ternak
betina tidak menolak pejantan untuk melakukan aktivitas reproduksi atau
kopulasi. Estrus ditandai :
- sapi
sering mengoek/melenguh
- gelisah
/ tidak tenang
- vulva
membengkak
- vestibulum
berwarna merah tua
- pembengkakan
hebat dan penjuluran lipatan-lipatan selaput lendir cervix
- pengeluaran
lendir dari vulva yang mudah melekat, jernih dan kental
Selama periode ini folikel terus membesar dengan cepat. Pada sapi
betina ovulasi tidak terjadi sampai birahi usai. Tetapi
estrus bisa dimanipulasi dg mempercepat estrus. Putri (2014) menyatakan bahwa
Kegiatan sinkronisasi estrus ini bertujuan memanipulasi siklus estrus (siklus
birahi) untuk menimbulkan gejala estrus dan ovulasi pada ternak sapi secara
bersamaan sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan inseminasi buatan dan
efisiensi deteksi estrus. Preparat yang digunakan dalam sinkronisasi estrus
adalah prostaglandin dalam bentuk prostaglandin F2α (PGF2α). Pemberian PGF2α
menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis melalui corpora lutea
sehingga terjadi regresi corpus luteum. Dengan dilakukannya sinkronisasi estrus
maka inseminasi dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan, memudahkan
pemanfaatan teknik transfer embrio, memudahkan dalam mendeteksi estrus,
kebutuhan pejantan dapat diperkecil, dan musim beranak dapat dipersingkat.
3.
Metestrus atau
postestrus
Ditandai dengan berhentinya birahi secara mendadak. Ovulasi terjadi, rongga
folikel berangsur mengecil dan pengeluaran lendir berhenti. Suwandi (2006),
menambahkan menjelang pertengahan sampai akhir metestrus, uterus
menjadi agak lunak karena pengendoran otot uterus. Kontraksi uterus
intermitten. Folikel sudah mengalami ovulasi. Ovarium akan teraba cekung karena
folikel mengalami ovulasi dan terbentuk korpus luteum baru dengan konsitensi
menyerupai jantung. Tiga ekor sapi dalam fase metestrus awal, dimana korpus
luteum belum terbentuk dan pada ovarium akan teraba ada cekungan bekas ovum
yang sudah diovulasikan dari folikel yang sudah matang. Pada fase ini sekresi
mukus vagina berkurang dan epithel karunkula uterus hiperemis.
4.
Diestrus
Korpus Luteum berkembang dengan sempurna dan pengaruh hormon yang
dihasilkan, progesteron tanpak pada dinding uterus. Endometrium menebal,
kelenjar dan urat daging uterus berkembang sebagai persiapan uterus untuk
menampung dan memberi makan embrio dan pembentukan plasenta. Diestrus ini
akan berlansung selama kebuntingan. Bila ovum tidak dibuahi kurpus
luteum akan tetap berfungsi selama kurang lebih 19 hari.
Pada hewan tertentu fase-fase siklus birahi ini ditambah
lagi fase yang disebut Anestrus, yaitu kondisi dimana sistem reproduksi ternak
beristirahat. Perkembangan folikel tidak ada, uterus kecil dan anemis, cervix
mengecil. Contoh hewan yang mempunyai fase anestrus : anjing, kucing dan kuda. Pada
fase ini ovarium didominasi oleh korpus luteum yang teraba dengan bentuk
permukaan yang tidak rata, menonjol keluar serta konsistensinya agak keras dari
korpus luteum pada fase metestrus. Korpus luteum ini tetap sampai hari ke 17
atau 18 dari siklus estrus. Uterus pada fase ini dalam keadaan relak dan servik
dalam kondisi mengalami kontriksi. Fase diestrus biasanya diikuti pertumbuhan
folikel pertama tapi akhirnya mengalami atresia sedangkan pertumbuhan folikel
kedua nantinya akan mengalami ovulasi.
Sistem reproduksi
memiliki 4 dasar yaitu untuk menghasikan sel telur yang membawa setengah dari
sifat genetik keturunan, untuk menyediakan tempat pembuahan selama pemberian
nutrisi dan perkembangan fetus dan untuk mekanisme kelahiran. Lokasi sistem
reproduksi terletak paralel diatas rektum. Sistem reproduksi dalam terdiri dari
ovari, oviduct, dan uterus.Ovari merupakan organ reproduki yang penting.
Terdapat dua ovari yaitu sebelah kanan dan kiri. Besarnya sekitar 1,5 inci
dengan tebal sekitar 1 inci dan terletak di dalam suatu membran seperti
kantungn ovarian bursa. Ovari bertanggung jawab pada sekresi hormon estrogen
dan progesterone dan produksi telur yang baik untuk dibuahi. Telur-telur mulai
matang di ovari dalam suatu cairan berisi folikel. Pertumbuhan folikel diatur
oleh hormon pituitary, yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH). Selanjutnya
sel yang mana dibatasi oleh folikel dan dikelilingi sel telur akan
mensekresikan estrogen untuk merespon jumlah hormone pituitary hormone lainnya
meningkat yaitu Luteinizing Hormone (LH). Jumlah estrogen mencapai maksimum
pada saat fase standing heat. Diikuti dengan meningginya LH pada telur yang
dilepaskan dari folikel dan ovulasi yang terjadi. ( Syakiri, 2005).
Oviduct merupakan
tabung panjang yang menghubungkan ovari dengan uterus. Di ujung terdekat ovari,
oviduct dilebarkan ke dalam infundibulum. Selama fase estrus, posisi
infundibulum mengelilingi ovari untuk menjaga sel telur yang terovulasi di
dalam oviduct. Oleh karena itu, di dalam oviduct, sel telur berjalan ke arah uterus
(Shearer, 2008).
Lama
siklus birahi
Lama siklus
birahi sapi antara 18 - 24 hari dengan rata-rata 21 hari. Lama siklus birahi
pada kuda 20 - 23 hari, akan lebih panjang pada musim semi dan akan lebih
pendek pada bulan juni sampai september.
Lama Birahi
Pada sapi, lama birahi berkisar antara 6 - 30 jam dengan
rata-rata 12 jam. Sapi dewasa rata-rata birahi selama 19,3 jam, sapi dara
rata-rata birahi selama 16.1 jam. Rata-rata birahi
kambing 24 jam.
Tanda
Birahi :
- ada
lendir transparan di vulva
- gelisah
- melenguh/mengoek
- sering
kencing
- betina
diam bila dinaiki pejantan
- abang,
abu, angat (vulva memerah, membengkak dan hangat.
Penyimpangan
birahi
Penyimpangan birahi terjadi bila ada perubahan hormonal atau kelainan yang terjadi di ovarium. contohnya Sapi perah betina masih ada yang birahi sampai kebuntingan triwulan kedua dan kejadian itu normal ± 30 % dari populasi. Penyimpangan yang lain adalah hewan tidak birahi dan juga tidak bunting karena adanya cyste ovari. Secara tidak langsung kemajuan peternakan sapi perah, ditentukan oleh ketepatan kita dalam menentukan berahi pada sapi. Masalahnya tersebut dapat dimaklum, sebab apabila saat berahi dapat diketahui dengan tempat dan pasti, maka pelaksanaan IB (Inseminasi Buatan kawi suntik) akan dapat dilakukan dengan baik dan tepat. Dengan demikian kemungkinan bunting akan lebih tinggi dan pula kemungkinan angka kelahiran yang lebih tinggi akan kita peroleh (AAK, 1995).
Penyimpangan birahi terjadi bila ada perubahan hormonal atau kelainan yang terjadi di ovarium. contohnya Sapi perah betina masih ada yang birahi sampai kebuntingan triwulan kedua dan kejadian itu normal ± 30 % dari populasi. Penyimpangan yang lain adalah hewan tidak birahi dan juga tidak bunting karena adanya cyste ovari. Secara tidak langsung kemajuan peternakan sapi perah, ditentukan oleh ketepatan kita dalam menentukan berahi pada sapi. Masalahnya tersebut dapat dimaklum, sebab apabila saat berahi dapat diketahui dengan tempat dan pasti, maka pelaksanaan IB (Inseminasi Buatan kawi suntik) akan dapat dilakukan dengan baik dan tepat. Dengan demikian kemungkinan bunting akan lebih tinggi dan pula kemungkinan angka kelahiran yang lebih tinggi akan kita peroleh (AAK, 1995).
Pelaksanaan IB pada
sapi perah harus mampu menghasilkan selang beranak yang tidak kurang dan tidak
lebih dari setahun dengan panjang laktasi yang optimal, yakni sekitar 10 bulan
(Barret dan Larkin, 1974). Seperti
kita ketahui bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
perkawinan, ini berarti bahwa apabila sapi sudah dikawikan tidaklah berarti
bahwa sapi tersebut pasti bunting. Karena hal tersebut perlu kita lakukan
tindakan pengontrolan ulang, yaitu mengmati tanda-tanda berahi pada 21 hari
kemudian Peternak atau petugas teknis
sapi perah harus mengetahui tanda-tanda berahi, karena sangat penting dalam
penentuan waktu perkawinan yang tepat dan keberhasilan IB. sehingga diharapkan
setahun sekali sapi-sapinya beranak. Hal ini sangat penting untuk menjamin kelangsungan
bibit sapi perah dan produksi susu (Sudono, 2004).
Beberapa faktor yang memenuhi
keberhasilan Inseminasi buatan diantaranya:
1.
Kondisi betina, meliputi kesehatan
dan anatomi organ reproduksi, Body Condition Score (BCS), lingkungan dan pakan,
ektoparasit dan endoparasit.
2.
Spermatozoa, dilihat dari total
seperma yang motil (% motilitas dan konsentrasinya)
3.
Ketetapan waktu IB (siklus berahi)
4.
Penepatan posisi semen saat IB
(tepat di depan cervik ± 3 cm).
Inseminasi buatan yang baik dilaksanakan 6-24 jam setelah
timbulnya berahi. Sedangkan proses IB yang dilakukan di BBPTU Baturaden
dilakukan 6 jam setelah birahi. Berahi pada sapi biasanya ditandai oleh alat
kelamin luar (vagina) berwarna merah, bengkak dan keluarnya lendir jernih serta
tingkah laku sapi yang menaiki sapi lain. Straw yang digunakan untuk
pelaksanaan IB di BBPTU Baturaden berasal dari New Zealand dan Australia,
karena di BBPTU Baturaden pembibitan diusahakan adalah jenis sapi FH murni.
Parameter IB yang dapat dijadikan tolak
ukur guna mengevaluasi efisiensi reproduksi sapi perah betina yaitu Days
Open (DO), service per conception (S/C), Calving
interval interval (CI). Semua parameter tersebut merupakan evaluasi
dari peranan teknologi IB yang diketahui dapat berpengaruh terhadap peningkatan
populasi sapi perah yang nantinya mampu untuk meningkatkan produksi khususnya
produk susu (Atabany dkk., 2011). Keberhasilan IB dapat dievaluasi berdasarkan
beberapa parameter yakni DO, S/C dan CI. Ada ketetapan yang
dijadikan acuan untuk beberapa parameter tersebut, untuk DO yang baik
berada pada kisaran 40-60 hari (Stevenson, 2001); S/C yang baik adalah
1,6–2,0 (Jainudeen and Hafez, 2008); sedangkan CI yang baik adalah ± 365
hari (Ball dan Peters, 2004). Beberapa parameter tersebut mampu mendeskripsikan
hasil evaluasi IB yang nantinya mampu menyimpulkan apakah IB yang dilakukan
sudah baik ataukah perlu perbaikan.
Pelaksanaan IB di BBPTU bisa juga mengalami kegagalan,
faktor-faktor yang menjadi penyebabnya antara lain ketidaktepatan waktu
mengawinkan, keterlembatan dalam mengetahui tanda-tanda birahi, keterampilan
inseminator, kualitas semen, peralatan yang digunakan untuk IB. Menurut
Gumilar, dkk (2012). Pelaksanaan
IB dilakukan oleh inseminator yang telah memiliki pengalaman menginseminasi
cukup lama. Selain itu, semua inseminator memiliki keahlian untuk ATR, PKB dan handling
semen.
Di BBPTU
Baturaden selain menggunakan Inseminasi Buatan juga pernah menggunakan
teknologi reproduksi Embrio Transfer. Menurut Hardjosubroto (1994), menyatakan
bahwa keberhasilan transfer embrio dipengaruhi oleh kondisi sapi donor, sapi
resipien, kualitas embrio yang dihasilkan dan pelaksanaan TE dari donor
keresipien. Sapi yang digunakan untuk resipien sebaiknya mempunyai umur yang
masih muda terutama sapi dara. Sapi resipien harus memiliki mutu genetik
yang baik dan berasal dari bangsa yang
sama, tetapi harus mempunyai organ dan siklus berahi yang normal, tidak pernah
mengalami kesulitan melahirkan, sehat serta bebas dari infeksi saluran kelamin.
Superovulasi dan sinkronisasi birahi
biasanya dilakukan pada sapi perah sebelum dilakukan Transfer embrio. Superovulasi
adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ovum lebih banyak
dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormon dari luar , untuk merangsang terjadinya ovulasi ganda, maka diberikan hormon
superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Penyerentakan Berahi dalah usaha yang bertujuan untuk
mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi
nestrus umumnya menggunakan hormone prostaglandin F2a (PGF2a) atau kombinasi
hormone progesterone dengan PGF2a.
Penerapan
TE merupakn alternative untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik sapi secar
cepat. Teknologi TE pad sapi meraupakan generasi kedua boiteknologi reproduksi
setelah inseminasi biuatan (IB). pada prinsipnya TE adalah rekayasa fungsi alat
reproduksi sapi betiona unggul dengan hormone super ovulasi sehingga diperoleh
ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Sel telur hasil ovulasi ini akan dibuiahi
oleh spermatozoa unggul melalui tekik IB
sehingga terbentuk embrio yang unggul. Embrio yang diperoleh dari ternak
sapi donor, dikoleksi dan diovulasi, kemidian ditransfer keinduk sapi resipien
sampai terjadi kelahiran (Warwick,1991). Keunggulan teknologi transfer embrio dibandingkan
inseminasi buatan adalah:
1.
Perbaikan mutu genetik pada
IB hanya berasal dari pejantan unggul sedangkan dengan teknologi TE, sifat
unggul dapat berasal dari pejantan dan induk yang unggul.
2.
Waktu yang dibutuhkan untuk
memperoleh derajat kemurnian yang tinggi dengan TE jauh lebih cepat
dibandingkan dengan IB dan kawin alam. Dengan teknik TE, seekor betina unggul
dapat menghasilkan lebih dari 20-30 ekor pedet unggul per tahun, sedangkan
dengan IB, hanya dapat menghasilkan satu pedet selama satu tahun.
3.
Melalui teknik TE
dimungkinkan terjadinya kebuntingan kembar, dengan jalan menteransfer setiap
tanduk uterus dengan satu embrio.
B.
KEBUNTINGAN
Lama kebuntingan pada
sapi perah di BBPTU Baturaden adalah 9 bulan seperti kebanyakan sapi pada
umumnya. Lama bunting diusahakan tidak jauh dari 9 bulan agar siklus reproduksi
sapi perah tersebut tetap baik dan tidak berpengaruh buruk terhadap kualitas
anak yang dihasilkan. Oleh karena itu sapi perah yang sedang bunting harus
diperhatikan baik dari manajemen kesehatan, manajemen pakan, manajemen kandang
dan sebagainya. Untuk kebutuhan sapi perah bunting jelas berbeda dengan sapi
perah tidak bunting. Sapi perah yang sedang bunting akan mendapat perlakuan
yang lebih untuk menjaga calon anak yang sedang dikandung sapi induk tersebut.
Panjang pendeknya kebuntingan dipengaruhi
oleh jenis sapi, jenis kelamin anak yang dikandungnya, jumlah anak dalam
kandungan dan faktor lain seperti umur induk, musim, sifat genetik, frekuensi
beranak dan letak geografis (Salisbury dan Van Demark, 1985).. Panjang
pendeknya kebuntingan juga dapat mempengaruhi variasi jarak beranak. Semakin
panjang lama bunting, semakin panjang pula jarak beranak karena lama bunting
dapat mempengaruhi rata-rata jumlah anak yang dilahirkan tiap tahun.
C.
PERSIAPAN KELAHIRAN
Periode
kebuntingan berbeda dari bangsa ternak tertentu. Lama kebuntingan pada sapi
rata-rata 280 hari dengan variasi antara 274-291 hari. Berdasarkan tanggal
kawin terakhir dan hasil kebuntingan maka dapat diperkirakan tanggal perkirakan
beranak. Pada saat menjelang kelahiran, peternak atau petugas ternak sapi harus
mempersiapkan kondisi lingkungan yang bersih, hygienis, tenang dan nyaman. Hal
ini sangat penting bagi induk dan pedet yang dilahirkan, sehingga kelahiran
menjadilebih lancer dan induk maupun anaknya terhindar dari infeksi penyakit (Anonimous.
1995)
Toelihere (2006), mengatakan bahwa
tanda-tanda induk yang akan melahirkan menunjukan kelainan tingkah laku dan
perubahan fisik sebagai berikut:
- Ambing membesar, keras dan kencang.
- Sapi Nampak gelisah karena kesakitan , maka induk sedikit –sedikit berlendir, kemudian berbaring kembali.
- Sapi sering kencing
- Kaki belakan sulit digerakan dan posisi kedua kaki tersebut terbuka agak keluar
- Bibir kemaluan membesar
- Tubuh tampak memanjang, sedangkan peut turun kebawah
Jika putting dipijit, pertama –tama keluar
cairan berwarna seperti air kental, semudian berubah menjadi susu biasa.
IV. KESIMPULAN DAN
SARAN
4.1. KESIMPULAN
a. Manajemen reproduksi sapi perah di BBPTU cukup baik. Hal
tersebut dilihat dari pengaturan siklus reproduksi.
4.2. SARAN
a. Pengaturan reproduksi
meggunakan kalender reproduksi merupakan salah satu cara terbaik, agar target
sapi untuk bereproduksi bisa tercapai. Sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi
peternak.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonimous. 1995. Petunjuk
Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisus. Yogyakarta
Atabany, A., B.P. Purwanto, T. Toharmat
dan A. Anggraeni. 2011. Hubungan Masa Kosong Dengan Produktivitas
Pada Sapi Perah Friesian Holstein Di Baturraden, Indonesia. Media
Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor 34 (2) : 77 - 82.
Blakely; J. dan
D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Penerjemah B.
Gumilar, Achmad Subhi.2012. “ Tampilan
Reproduksi Sapi Perah pada Berbagai Paritas Di Wilayah KUD Batu”. Jurnal Animal
Science.
Hardiana, Agung. 2009. Manajemen
Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi
Pemuliabiakan Ternak Dilapangan. Gramedia. Jakarta.
Insemination of cattle.
W. H. Freeman and Co. San Fransisco.
Jainudeen, M.R. and Hafez, E.S.E. 2008.
Cattle And Buffalo dalam Reproduction In Farm Animals. 7th Edition. Edited
by Hafez E. S. E. Lippincott Williams & Wilkins. Maryland. USA. 159 : 171.
Lindsay D.R, Enwistle K.W dan Winantea
A. 1982. Reproduksi Ternak di Indonesia.
Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Brawijaya: Malang
Lubis, O.P, 2006. Makalah Seminar
Pelatihan Inseminator pada Sapi/Kerbau BIB Singosari: Malang
Nuryadi. 2006. Dasar-Dasar Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya: Malang
Putria, Arni Nadhirah, Sri Suharyatib,
Purnama Edi Santosab . 2014. “Pengaruh Paritas Terhadap Persentase Estrus Dan
Kebuntingan Sapi Peranakan Ongole Yang Disinkronisasi Estrus Menggunakan
Prostaglandin F2α (Pgf2α)”. Jurnal Ilmiah
Ilmu-Ilmu Peternakan, Vol 2, No.1
Sakiyah,
putri, Ramdani Dani, dan A. Suta. 2013. ‘’ Pengaruh Penyuntikan Progesterone
Dan Estrogen Pada Sapi Perah Untuk Mempercepat Estrus’’. Jurnal Veteriner, Vol 3, No 2.
Salisbury G.W, Vanbemark N.L. 1985. Fisiologi
Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Salisbury,
G. W., dan L. Van Demark, J. R. 1985. Physiology
of Reproduction and Artifical
Shearer.
2008. Manajemen Reproduksi Ternak Ruminansia. Gajah Madja press. Yogyakarta.
Sorensen, A.M.
1975. Animal Reproduction: Principles and
Practices.
Srigandono.
Penyunting Sudarsono. Gadjah Mada University Press.
Stevenson, J.S. 2001. Reproductive
Management of Dairy Cows in High Milk-Producing Herds. Journal Dairy
Science. 84 (3): 128-143.
Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. IPB. Bogor.
Sudono, Adi., Rosdiana, R. Fina dan setiawan Budi S. 2004. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
Agromedia, pustaka.
Syakiri,
anis. 2005. Manajemen Reproduksi dan Pemuliaan Ternak. Universitas Pertanian
Bogor. Bogor.
Toelihere, Mozes R. 2006. Ilmu
Kebidanan Pada Ternak Sapi Dan Kerbau. Universitas Indonesia press.
Warwick, E.J. dan Adjie Soemarmono. 1991. Ilmu
Pemuliaan Ternak. Fakultas peternakn universitas jenderal soedirman,
purwokerto, iindonesia
Yogyakarta.
MAKALAH
MANAJEMEN TERNAK PERAH
MANAJEMEN REPRODUKSI DAN PERKANDANGAN SAPI PERAH
DI BBPTU-HPT BATURADDEN
Disusun Oleh:
Kelompok IB
Arif Mardianto D1E012006
Eko Purwanto D1E012007
Umi Fadilah D1E012013
Ismi Nurfatikha D1E012019
Mardiyah D1E012023
Rika Dini A. D1E012025
Dede Masopah D1E012031
Winda Juliyanti D1E012033
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2014