Jumat, 16 Mei 2014

Evaluasi Hasil Penetasan Puyuh Petelur (Coturnix-Coturnix Japonica) Pada Sentra Pembibitan Peternakan Rakyat Di Jawa Barat

Evaluasi Hasil Penetasan Puyuh Petelur (Coturnix-Coturnix Japonica) Pada Sentra Pembibitan Peternakan Rakyat Di Jawa Barat

LAPORAN ILMU BAHAN PAKAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
ILMU BAHAN PAKAN
  
Oleh:
UMI FADILAH
D1E012013
KELOMPOK 19

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
LABORATORIUM ILMU BAHAN MAKANAN TERNAK
PURWOKERTO
2013
I. PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
            Pengetahuan mengenai bahan baku pakan merupakan salah satu unsur terpenting ( esensial ) untuk diperhatikan dalam penyusunan formulasi ransum karena hasilnya akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Oleh karena itu sebelum meramu ( formulasi ) dan mengolah bahan pakan menjadi bahan jadi, informasi yang berhubungan dengan bahan pakan terlebih dahulu dipelajari. Berdasarkan keragaman bahan pakan perlu diadakanya pengklasifikasian bahan pakan dan penamaan bahan pakan.
          Alam telah memberikan beragam bahan pakan baik yang konvensional maupun yang baru dari hasil olahan industri pakan ataupun pangan. Dari berbagai bahan pakan yang ada agar bahan pakan tersebut tidak dikembari oleh bahan pakan yang lain untuk itu dilakukan pemberian nama bahan pakan ( nomenklature ) baik hijauan ataupun lainnya. Kesulitan dalam mengidentifikasi dengan cara pemberian nama kepada setiap bahan makanan dan memberi kepastian bagi standardisasi internasional dalam menentukan bahan makanan.
Nomenklatur juga perlu diketahui untuk memberi kejelasan tentang identifikasi bahan makanan ternak. Pemberian tatanama internasional didasarkan atas enam segi (fase) yaitu :
1.      Asal mula : nama ilmiah
2.      Bagian yang diberikan ternak
3.      Proses – proses dan perlakuan yang dialami
4.      Tingkat kedewasaan
5.      Pemotongan
6.      Grade
Negara indonesia merupakan negara agraris karena mempunyai berbagai jenis tanaman yang melimpah dan berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak selain hijauan, bahan pakan ternak yang lainnya adalah konsntrat. Bhan pakan ternak sebagian besar terdiri dari produk pertumbuhan tanaman hanya sebagian kecil yang terdiri dari bahan asal hewan. Banyak produk sampingan dari bahan makanan manusia cocok untuk bahan pakan ternak disamping itu, berjalan dengan perkembangan teknologi dalam memproses makanan, manusia, maka tambahan produk sampingan akan dengan sendirinya meningkat. Apabila suatu pedoman pemberian nama tidak dengan baik disiapkan untuk produk – produk tersebut, maka besar kemungkinan keraguan akan timbul. Sehingga setiap bahan pakan perlu di beri tatanama atau nomenklatur yang jelas sesuai dengan tatanama internasional.
Hijauan adalah seluruh macam tanaman yang dapat dimanfaatkan  sebagai sumber pakan. Terdapat beberapa hijauan limbah pertanian, yaitu kelompok hijauan jerami, serelia, jerami tanaman kacang-kacangan dalam hijauan umbi-umbian.Hijauan serelia umumnya memiliki nilai kecernaan yang baik.
             Alat dalam menganalisa bahan makanan dimaksudkan sebagai pendukung langsung untuk melakukan suatu analisa. Pengenalan alat dilakukan agar nantinya dapat mendukung acara praktikum seperti analisis fisik, analisis kadar air, analisis kadar abu, analisis lemak kasar, analisis protein kasar, analisis serat kasar, analisis ffa dan gross energi.
     Metode yang digunakan untuk mengetahui kualitas pakan adalah uji fisik, kimia, maupun uji mikroskopis. Secara umum sifat fisik bahan tergantung dari jenis dan ukuran partikel bahan. Sekurang-kurangnya ada 6 sifat fisik bahan yang penting yaitu berat jenis, sudut tumpukan, daya ambang, luas permukaan spesifik, kerapatan tumpukan, dan kerapatan pemadatan tumpukan. Untuk mengetahui sifat fisik suatu bahan maka perlu dilakukan uji fisik pada bahan tertentu.  Sehingga, mempermudah penanganan, dalam pengangkutan, mempermudah pengolahan, menjaga hemoginitas dan stabilitas saat pencampuran.  
Sejak awal abad ke-19 para sarjana Jerman telah merintis menganalisa bahan makanan, antara lain oleh thaer pada tahun 1809. Kemudian oleh Hennberg dan Stohman (1860) yang berasal dari Weende (nama kota di Jerman Timur) metode Thaer tersebut disempurnakan. Akhirnya metode ini dikenal dengan nama Analisis Weende (Weende Proksimat Analysis). Analisis proksimat adalah analisis yang mengurai bahan makanan terdiri atas nutrisis penyusun yaitu, air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, dan abu.
Asam lemak bebas atau disebut FFA ditentukan sebagai kandungan asam lemak yang terdapat paling banyak dalam minyak tertentu. Lemak dan minyak secara praktis dapat menunjukan adanya FFA pada bahan yang sudah diekstraksi dari bahan pakan tertentu. Sebagian besar asam lemak mempunyai gugus kalori dan alifatik. Pengujian asam lemak bebas dimaksudkan untuk mengetahui asam lemak yang terdapat dalam bahan tersebut, sehingga dapat diketahui berapa lama  bahan pakan tersebut akan disimpan.
     Energi total atau gross energy makanan adalah jumlah energi kimia dalam makanan. Energi ini ditentukan dengan mengubah energi kimia menjadi energi panas dan diukur jumlah panas yang dihasilkan. Panas ini diketahui sebagai energi total atau panas pembakaran dari makanan. Energi bruto suatu bahan dapat ditentukan dengan membakar sejumlah sampel sehingga diperoleh hasil oksidasi yang berupa H2O, karbondioksida dan energi.
             Alat yang digunakan untuk menentukan energi bruto suatu bahan pakan adalam bom kalorimeter.  Bom kalorimeter terdiri atas suatu bejana tertutup dimana suatu bahan makanan tersebut dibakar. Bom dimasukan kedalam tabung yang mengandung air yang menyerap panas dan ukur jumlah panas ( kalori )  yang timbul. Kenaikan suhu maksimum tersebut adalah penentuan energi bruto kalori bahan yang dinalisis. Penentuan energi bruto menentukan jumlah energi kalori dalam bahan baku pakan yang dianalisis.
1.2       Waktu dan Tempat
Praktikum Ilmu Bahan Pakan dilaksanakan pada hari : Senin-Rabu, 6-9Oktober 2013 pukul 14.30 WIB s.d. selesai dan bertempat di Laboratorium Ilmu Bahan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman.






II. TUJUAN DAN MANFAAT
2.1 Tujuan
1.      Mengetahui dan mengerti berbagai jenis hijauan dan konsentrat. Tekstur dari berbagai macam tanaman, sifat fisik dari limbah pertanian dan kandungan masing-masing nutrisinya.
2.      Mengetahui bagian-bagian dalam menentukan nama Nomenklature, baik hijauan maupun konsentrat.
3.      Mengetahui macam-macam alat beserta fungsinya dan cara penggunaannya.
4.      Mengetahui cara uji fisik dan sifat-sifat fisik suatu bahan pakan.
5.      Mampu menentukan kadar air, kadar abu, lemak kasar, protein kasar, BETN, serta serat kasar.
6.      Mampu menghitung kadar FFA suatu bahan pakan.
7.      Mengetahui kandungan energi suatu bahan pakan.
2.2 Manfaat
1.        Manfaat dari praktikum kali ini adalah agar praktikan dapat memanfaatkan tanaman dan limbah pertanian disekitar sebagai bahan pakan ternak.
2.        Mengetahui sudut tumpukan pada setiap bahan pakan.
3.        Mengetahui berat jenis pada setiap bahan pakan.
4.        Mengetahui daya ambang pada setiap bahan pakan
5.        Mengetahui luas permukaan spesifik pada setiap bahan pakan yang sebanding dengan berat bahan pakan tersebut.
6.        Mengetahui kandungan gizi setiap bahan pakan untuk diberikan kepada ternak
7.        Dapat membedakan derajat keasaman bahan pakan yang disebabkan asam lemak bebas yang menyebabkan bau tengik ketika dilakukan penyimpanan terlalu lama.
8.        Praktikan dapat mengetahui dan menghitung gross energy dari bahan pakan.


III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1.Nomenklatur Hijauan, Bahan Pakan dan Pengenalan Alat
Bahan makanan ternak adalah segala sesuatu yang dapat dimakan oleh hewan dalam bentuk yang dapat dicerna seluruhnya atau sebagiandaripadanya dan tidak mengganggu kesehatan hewan yang bersangkutan ( Lubis,1963).  Sedangkan pengertian bahan pakan yang lebih lengkap yaitu bahan bahan yang berasal dari pertanian, peternakan,maupun perikanan yang diolah maupun tidak, yang mengandung unsur nutrisi dan atau energi, yang tercerna sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan hewan yang memakannya (Rahardjo, 2002).
   Bahan pakan ternak terdiri dari hijauan dan konsentrat, serta dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu bahan pakan konvensional dan bahan pakan inkonvensional. Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang sangat mutlak diperlukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif sepanjang taun dalam sistem populasi ternak ruminansia ( Abdullah, 2005 ). Menurut Murni (2008) bahan pakan kasar selain dari  hijauan segar juga dapat diperoleh dari pemanfaatan limbah. Limbah yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan berasal dari bagian-bagian tanaman/ hewan yang dijadikan sebagai pakan kasar, sumber energi, sumber protein atau sumber mineral. 
Nomenklatur berisi tentang peraturan untuk pencirian atau tatanama bahan pakan. Pencirian bahan pakan dirancang untuk memberi nama setiap bahan pakan. Ciri-ciri bahan makanan dibedakan dan dipisahkan dengan mengkhususkan dari kualitas bahan pangan yang dihubungkan dengan perbedaan nilai gizinya. Pemberian nama bahan pakan secara Internasional meliputi 6 faset, yaitu : asal mula, bagian, proses, umur/ tingkat kedewasaan, defoliasi, serta grade/ kandungan kualitas dari pabrik ( Hartati, ddk, 2002 ). 
Alat yang mendukung dari praktikum Alat yang terbuat dari gelas salah satunya adalah labu erlenmeyer, digunakan untuk menganalisis bahan. Labu ini hendaknya berkapasitas 50, 100 dan 250 ml, dan yang mempunyai bentuk griffin sangatlah berguna dalam analisis kuantitatif (Vogel, 1937). Bom kalorimeter yang terdiri dari beberapa bagian digunakan untuk menghitung total energi suatu bahan pakan ( Hendaryono, 1994 ).

3.2.      Uji Fisik
Bahan pakan yang diberikan kepada ternak sangat berpengaruh terhadap daya produksi ternak tersebut.Uji ini untuk mencegah penggunaan bahan pakan yang berbahaya bagi ternak. Bahan pakan mempunyai sifat fisik  yaitu sudut tumpukan, berat jenis, daya ambang, luas permukaaan spesifik, kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan (Khalil, 1997).
Menurut Jaelani ( 2007 ), sifat fisik pakan adalah salah satu faktor yang penting untuk diketahui. Keefisienan suatu penanganan, pengolahan, dan penyimpnan, dalam industri pakan tidak hanya membutuhkan informasi tentang komposisi kimia dan nilai nutrisi saja tetapi juga menyangkut sifat fisik, sehingga kerugian akibat kesalahan penanganan bahan pakan dapat dihindari.  
Salah satu uji fisik menurut Mujnisa ( 2008 ), adalah sudut tumpukan, yaitu sudut yang terbentuk jika suatu bahan dicurahkan pada bidang datar melalui sebuah corong. Sudut ini merupakan kriteriaan kebebasan bahan bergerak partikel dari suatu tumpukan bahan. Besarnya sudut tumpukan dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan, tekstur, berat jenis, kerapatan tumpukan dan kadar bahan air. Ukuran partikel kecil maka akan membentuk sudut tumpukan yang semakin besar. Pakan bentuk padat mempunyai sudut tumpukan berkisar antara 20° sampai 50°.
Daya ambang merupakan jarak yang dapat ditempuh oleh suatu partikel bahan jika dijatuhkan dari atas ke bawah selama jangka waktu tertentu. Daya ambang berperan terhadap efisiensi pemindahan atau pengangkutan yang menggunakan alat penghisap (pneumatio conveyor), pengisian silo menggunakan gaya gravitasi jika suatu bahan punya daya ambang berbeda akan terjadi pemisahan partikel  (Khalil, 1997). Berat jenis merupakan perbandingan antara masa bahan terhadap volumenya, satuannya adalah gr/ml. Berat jenis diukur dengan menggunakan hukum Archimedes ( Mujnisa, 2008 ). Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan, dan pemyimpanan ( Jaelani, 2007 ). Serta berat jenis berpengaruh terhadap hemoginitas penyebaran partikel dan stabilitas suatu campuaran pakan. Ransum yang tersusun dari bahan pakan yang memiliki perbedaan BJ cukup besar, akan menghasilkan campuran tidak stabil dan mudah terpisah kembali ( Chung and Lee, 1995 ).

3.3.      Analisis Proksimat
Analisis proksimat mulai dikembangkan oleh Wilhelm Henneberg dan asistennya Stohman pada tahun 1960 di laboratorium Wende di Jerman. Oleh karena itu analisis model ini dikenal juga dengan analisis Wendee. Pada prinsipnya bahan pakan terdiri atas dua bagian yaitu air dan bahan kering yang dapat diketahui melalui pemanasan pada suhu 105°C. Selanjutnya bahan kering ini dapat dipisahkan antara kadar abu dan kadar bahan organik melalui pembakaran dengan suhu 500°C ( Sutardi, 2012 ).
Sutardi ( 2012 ) menambahkan bahan organik dapat dipisahkan menjadi komponen nitrogennya yang kemudian dihitung sebagai protein dengan teknik kyeldahl dan bagian lainya adalah bahan organik tanpa nitrogen. Bahn organik tanpa N dapat dipisahkan menjadi karbohidrat dan lemak. Selanjutnya karbohidrat dapat dipisah menjadi serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen.
Bahan pakan mengandung zat-zat kimia yang secara umum semua makanan mengandung air yang lebih banyak dari kandungan lain. Tinggi rendahnya kadar air mempengaruhi kebutuhan hewan akan air minum. Banyaknya air yang terkandung pada suatu bahan makanan dapat diketahui jika bahan tersebut dipanaskan atau dikeringkan pada temperatur tertentu. Menurut Krishna ( 1980 ), komponen air adalah air dan senyawa organik yang mudah menguap. Abu sendiri terdiri dari unsur mineral, namun bervariasinya kombinasi unsur mineral dalam bahan pakan asal tanaman menyebabkan abu tidak dapat dipakai sebagai indek untuk menentukan jumlah unsur mineral tertentu.
3.4.      Analisis Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)
Penetapan asam lemak bebas berprinsip bahwa lemak bebas yang terdapat paling banyak pada minyak tertentu. Dalam analisis ini diperhitungkan banyaknya zat yang larut dalam basa atau asam di dalam kondisi tertentu ( Sutardi, 2001). Analisis kimia untuk mengetahui asam lemak bebas pada bahan pakan dilakukan dengan proses AOAC ( 1990 ).
Lemak lipida adalah ester dari asam-asam lemak hydra alkohol yang didalamnya berupa zat-zat yang tidak larut dalam air ( Tillman, 1984 ). Menurut Citrawidi ( 2012 ), enzim lipase dapat memecahkan ikatan ester pada lemak dan gliserol. Salah satu bentuk lemak yang terdapat pada tubuh adalah trigliserida. Trigliserida adalah suatu ester gliserol, terbentuk dari tiga asam lemak dan gliserol. Trigliserida akan dipecah oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam lemak lepas kedalam pembuluh darah.
3.5.      Gross Energy
Gross Energy didefinisikan sebagai energi yang dinyatakan dalam panas bila suatu zat dioksider secara sempurna menjadi CO2 dan air. Tentu saja CO2 dan air ini masih mengandung energi, akan tetapi dianggap mempunyai tingkat nol karena hewan sudah tidak bisa memecah zat-zat melebihi CO2 dan air. Analisis kimia untuk mendapatkan energi bruto bahan pakan menggunakan prosedur AOAC ( 1990 ).
Menurut Rasyaf ( 1994 ), tinggi rendahnya energi dipengaruhi oleh kandungan protein, karena protein berperan sekali terhadap pertumbuhan sehingga mempengaruhi jumlah ransum yang masuk kedalam tubuh. Nilai energi bruto suatu bahan pakan tergantung dari proporsi karbohidrat, lemak, dan protein yang dikandung bahan pakan tersebut. Air dan mineral tidak menyumbang energi pakan tersebut.
Sejumlah 4000 kkal energi bruto yang dikandung oleh ransum pada umumnya sebanyak 2900 kkal dapat dimetabolisir oleh ayam petelur dari jumlah 2300 kkal akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok ( Amrullah, 2003 ). Menurut Rasyaf ( 1994 ), jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk dalam tubuh unggas tergantung pada komposisi bahan makanan dan zat makanan dalam ransum, spesies, faktor genetik, umur, dan kondisi lingkungan.

5.2 Pembahasan
5.2.1    Nomenklatur dan pengenalan Alat
              Pemberian nama (nomenklatur) bahan pakan Internasional yang diusulkan oleh Haris et al (1970) dimaksudkan untuk menanggulangi ketidaktetapan dalam pemberian nama bahan pakan. Nomenklatur bahan makanan Internasional memuat peraturan-peraturan untuk dapat digunakan oleh pemberi nama (perseorarangan atau hukum) dalam memberikan istilah atau nama bahan.  Ciri-ciri bahan makanan dibedakan dan dipisahkan dengan mengkhususkan dari kualitas-kualitas bahan makanan yang dihubungkan dengan perbedaan nilai gizinya.
              Menurut Sutardi (2012), pemberian nama bahan pakan secara Internasional meliputi 6 faset yaitu :
1. Asal mula, meliputi nama ilmiah, nama umum dan rumus kima yang benar
2. Bagian, sesuatu yang diberikan kepada ternak sebagaimana proses yang dialami
3. Proses atau perlakuan, cara penanganan yang dilakukan pada bahan pakan untuk diberikan kepada ternak
4. Umur, pada saat kapan bahan pakan tersebut bisa diberikan kepada ternak
5. Defolasi, tingkat kedewasaan ( khusus pada hijauan)
6. Grade, kadar gizi yang terkandung dalam suatu bahan pakan.
Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan dari Hartati dkk ( 2002 ), pemberian nama bahan makanan secara Internasional meliputi 6 faset yaitu : asal mula, bagian, proses, umur/tingkat kedewasaan, defoliasi serta grade/ kandungan kualitas dari pabrik.
              Pengenalan bahan pakan sangat penting dilakukan agar kita mengerti berapa komposisinya dan tahu ada zat-zat yang berperan atau bahkan hancur yang terdapat didalam bahan pakan tersebut. Komposisi sangatlah penting diketahui agar kita dalam menyusun ransum dapat berjalan dengan baik dan juga benar-benar dibutuhkan oleh ternak, selain itu juga dapat menghemat biaya. Zat-zat beracun sangat merugikan bagi ternak bila dalam bahan pakan yang diberikan mengandung zat-zat beracun. zat-zat tersebut bereaksi bila dipotong, dikunyah, dicerna dan sebagainya. Beberapa cara pengolahan untuk mengurangi zat-zat beracun antara lain dioven, dimasak, dan pengeringan menggunakan sinar matahari (Sutardi, 2003).
5.2.1.1 Nomenklatur Bahan Pakan Hijauan
Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang sangat mutlak diperlukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif sepanjang taun dalam sistem produksi ternak ruminansia ( Abdullah, 2005 ). Secara garis besar bahan pakan hijauan digolongkan ke dalam empat kelompok bahan pakan yaitu :
1.      gramineae (rumput-rumputan,
2.      leguminosa (kacang-kacangan),
3.      browse (ramban) dan
4.       limbah pertanian.
Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Sutardi ( 2012 ), terdapat 4 sumber hijauan untuk pakan yaitu : 1) kelompok Graminae, yaitu kelompok rumput 2) kelompok Leguminosa, baik leguminosa menjalar maupun pohon 3) Cyperaceae, yaitu kelompok rumput teki-tekian; dan 4) kelompok browse untuk rambanan. Pernyataan tersebut didasarkan atas pendapat dari Lubis ( 1993 ), yaitu hijauan merupakan daun-daunan yang dapat dimakan ternak, kadang – kadang terikut ranting maupun bunganya.
              Nomenklatur internasional telah membagi makanan ternak dalam delapan kelas, meliputi : (Sutardi, 2012 )
Kelas 1 : Forage kering dan roughage diantaranya semua jenis hay, jerami kering, dry powder, dry scover dan semua bahan  makanan kering yang berisi 18 % atau lebih serat kasar.
Kelas 2 : Semua tumbuhan yang diberikan secara segar sebagai hijauan segar
Kelas 3 : Silase, semua bahan makanan yang dicecah  dan difermentasi
Kelas 4 :Makanan sumber energi seperti semua biji-bijian, hasil buah-buahan, umbi-umbian yang kandungan proteinnya < 20 %
Kelas 5: Makanan sumber prtotein, makanan yang mempunyai kandungan protein ≥ 20 %
Kelas 6 : Makanan sumber mineral
Kelas 7 : Makanan sumber vitamin
Kelas 8 :  Makanan sumber aditif.
            Ternak sapi, kerbau, domba dan kambing  yang diberi makanan hijauan sebagai makanan tunggal masih bisa mempertahankan hidupnya, bahkan mampu tumbuh dengan baik dan berkembangbiak. Kebutuhan hijauan makanan ternak pada setiap jenis ternak hewan yang berbeda-beda hal ini disebabkan karena perbedaan alat pencernaannya. Bahan pakan hijauan merupakan bahan pakan yang berasal dari tanaman dan dapat dimakan ternak tanpa mengganggu kesehatan ternak.
Bahan pakan kasar protein selain dari hijauan segar juga dapat diperoleh dari pemanfaatan limbah. Limbah yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan berasal dari bagian-bagian tanaman/hewan yang dijadikan sebagai pakan kasar, sumber energi, sumber protein atau sumber mineral ( Murni, 2008 ). Misalnya pada jerami padi, jerami padi merupakan sisa dari pemanenan padi yang terdiri dari batang dan daun. Kandungan SK nya sekitar 30 %, sebagai pengganti hijauan jerami dapat ditingkatkan kandungan gizinya melalui amoniasi/ fermentasi (Sutardi, 2012).
Pernyataan Sutardi (2012) tersebut berbeda dengan pernyataan Gohl 1981 dalam Murni ( 2008 ) yang menyatakan bahwa jerami padi mengandung BK = 80,8 %, Protein kasar = 3,9 %, Serat kasar = 33,5 %, abu = 21,4%, Lemak kasar= 2,1 %, dan BETN = 39,1 %.
Perbedaan pendapat tersebut dapat dipengaruhi oleh jenis dan kualitas padi. Selain padi masih banyak jenis limbah yang digunakan sebagai pakan ternak misalnya daun pisang (Musa parasidiaca)  dan daun singkong (Manihot utilissima). Hasil analisis laboratorium Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Bogor mendapatkan rata-rata kadar bahan kering sampai 3,6%, kadar total abu 15,5 dan 10,5% masing-masing dalam batang dan bonggol. Pada umumnya limbah pertanian berupa hijauan banyak dimanfaatkan sebagai pakan serat untuk ternak ruminansia guna mensubtitusi rumput ( Guntoro, 2008 ).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. Mengenai komposisi nutrisi hijauan segar maupun hijauan kering.
Tabel 4. Komposisi nutrisi hijauan segar dan kering ( Sutardi, 2012 ).
Nama Bahan
BK
PK
SK
Abu
EE
BETN
Jerami Padi
40
4,3
33,8
24,5
2,5
35
Rumput Gajah
28
1,3
7,4
2,6
0,3
9,9
Rumput Benggala
24
2,1
8
3
0,5
10,2
Gamal
20
3,3
1,7
1,2
0,4
4,5
Lamtoro
22
5,7
4,4
1,8
1,8
8
Daun nangka
19
2,7
2,8
2,1
0,6
10,1
Rumput Raja
20,38
10,13
34,69
-
4,12
-

5.2.1.2  Bahan Pakan Konsentrat
Pertumbuhan ternak akan relatif lambat jika peternak hanya mengandalkan pemberian hijauan. Optimalisasi pertumbuhan ternak bisa dicapai dengan pemberian konsentrat yang bisa diperoleh dari limbah industri pertanian, termasuk dari proses pengolahan produk perkebunan (Guntoro, 2008). Berdasarkan kandungan gizinya, konsentrat dibagi menjadi tiga golongan yaitu, konsentrat sebagai sumber energi, protein dan mineral. 
Konsentrat sebagai bahan energi adalah semua bahan pakan yang mengandung PK kurang dari 20%. Bahan pakan tersebut banyak mengandung karbohidrat/pati/gula yang dapat digunakan sebagai sumber energi hewan monogastrik. Terdapat empat kelompok bahan pakan yang termasuk sumber energi yaitu : cereal grain, milling by product, special product, buah-buahan dan produk lainnya ( Sutardi, 2012 ).
            Bagi ternak ruminansia, konsentrat termasuk pakan tambahan yang berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan atau produksi. Sementara itu bagi ternak monogastrik, konsentrat merupakan pakan utama. Semua cerelia mengandung karbohidrat yang tinggi kecuali gabah. Kandungan lemak cerelia bervariasi antara 3-8 %. Lemaknya mengandung asam lemak palmitat ( jenuh ), asam oleat dan linoleat. Kandungan mineral Ca sebesar 0,03 % dan P sebesar 0,3 %.  Bahan pakan sumber energi dari jenis konsentrat sebagian besar terdapat dalam bahan pakan asal tumbuh-tumbuhan atau nabati dengan limbahnya, di antaranya jagung kuning, sorghum, pollard, millet, bekatul, onggok, dan gandum. Bahan pakan sumber energi asal nabati ini umumnya mempunyai kandungan serat kasar yang cukup tinggi (Rasyaf, 1994). Komposisi nutrisi dari konsentrat sumber energi dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Komposisi konsentrat sumber energi ( Sutardi, 2012 ).
Bahan
KA
PK
EE
SK
Abu
Onggok
18,3
0,8
0,2
2,2
2,5
Ampas Tahu
84
5
1,2
3,2
0,8
Tetes
20,3
1,3
0
0
3,5
Dedak Padi
10,5
12,5
14
11
12
Bekatul
10
12
12
4
8
Konsentrat sebagai sumber protein apabila kandungan protein lebih dari 18%, Total Digestible Nutrision (TDN) 60%. Ada konsentrat yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Berasal dari tumbuhan, kandungan proteinnya dibawah 47%, mineral Ca dibawah 1% dan P dibawah 1,5% serat kasar lebih dari 2,5%.Konsentrat sumber protein diantaranya adalah berbagai macam bungkil, misalnya bungkil kedelai. Dapat diperoleh dari pengepresan kedelai giling. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati terbaik. Menurut Sutardi ( 2012 ), PK pada bungkil kedelai expeller adalah 42 %, sedangkan PK pada kedelai solvent adalah 45%, SK untuk expeller = 6 %, SK solvent= 6 %. Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan dari Murni ( 2008 ), menurutnya PK pada bungkil exp =43,92 %, PK solv = 48,79 %, sedangkan SK exp = 5,50 % dan SK solv = 3,42 %.
Selain dari bungkil-bungkilan dalam sumber protein untuk konsentrat juga terdapat sumber protein yang berasal dari hewan mengandungproteinlebih dari 47%.Mineral Ca lebih dari 1% dan P lebih dari 1,5% sertakandunganseratkasardibawah 2,5%. Misalnya tepungikan, yang merupakan sumber protein hewani yang potensial,dengan kandungan protein 17-24 % dari beratnya (Fardiac, 1995). Sumber protein yang berasal dari hewan itu juga dipengaruhi dari jenis hewan, serta besar kecilnya tubuh hewan tersebut.
Sumber mineral makro banyak terdapat di alam. Mineral makro yang ditambahkan dalam pakan ternak adalah Ca, P, Na dan Mg. Sumber Na dan Cl tersedia dalam garam dapur dalam bentuk NaCl. Vitamin merupakan komponen organik dan dibutuhkan dalam jumlah yang kecil bagi ternak, sebagai koenzim atau regulator pada berbagai metabolisme (Rasyaf, 1994). Selain sumber vitamin, ternak juga membutuhkan feed additives. Menurut Mujnisa ( 2008 ), feed aditives merupakan bahan pakan yang terdiri dari campuaran vitamin, mineral, asam-asam amino serta jenis-jenis obat tertentu seperti antibiotic, occidiostat yang komposisinya tidak selalu terdapat secara bersama-sama.
5.2.1.3 Pengenalan Alat
Praktikum pengenalan alat bertujuan untuk menentukan tetapan hasil analisis kimia yang akurat. Pengunaan alat-alat laboratorium antara lain untuk penimbangan, penyaringan, pengukuran volume cairan, pemijaran dan pengabuan, dan pengeringan (Sudarmadji, 1997). Sedangkan menurut Hartati (2002), penggunaan alat-alat laboratorium antara lain sebagai alat penimbangan, pengukuran volume cairan, melarutkan zat padat, penyaringan, pemijaran dan pengabuan serta penyaringan. Penimbangan menggunakan timbangan, penyaringan menggunakan kertas saring, dan corong bunche, pengaturan volume cairan menggunakan gelas ukur, pipet ukur, pipet volume, labu ukur dan buret. Pemijaran menggunakan tanur dan cara sederhana pengeringan menggunakan oven.
Pengeringan biasanya dipakai untuk menentukan kadar air atau dilakukan pada zat kimia padat yang akan ditimbang untuk standardisasi. Alat yang digunakan adalah oven yang dilengkapi dengan thermometer, thermostat dan pengatur waktu pengeringan yang dikehendaki. Alat yang digunakan untuk menyimpan bahan yang sudah dikeringkan adalak eksikator ( dessicator) yang kedap udara, didalamnya terdapat zat yang bisa menyerap air (silica gel) sehingga pengaruh uap air selama penyimpanan bisa diabaikan (Sudarmadji, 1997).
Fungsi dari alat-alat laboratorium berbeda satu dan yang lainnya, begitu pula dengan cara penggunaannya harus sesuai dengan ketentuan agar hasil dari penggunaan itu baik. Seperti timbangan yang digunakan dalam laboratorium terdiri dari berbagai jenis dan merk, yang perlu diketahui adalah kapasitas dan ketelitian timbangan yang akan digunakan apakah timbangan halus atau kasar (Sudarmadji, 1997). Jenis timbangan yang akan dipakai tergantung dari tujuannya, misalnya untuk penentuan kadar abu dan air harus digunakan neraca analitis dengan ketelitian 0,1 mg, sedangkan untuk menimbang bahan kimia yang akan dibuat menjadi larutan jenuh, cukup menggunakan timbangan yang lebih kasar. 
Alat-alat untuk penimbangan harus bersih dan telah dikeringkan dalam oven suhu 105º-110ºC dan didinginkan sampai suhu kamar dalam desikator selama 15 menit, demikian pula bila akan menimbang sesuatu yang panas harus didinginkan terlebih dahulu dengan cara yang sama. Selama menimbang harus dgunakan alat penjepit untuk mengambil sesuatu agar tidak mempengaruhi beratnya. Zat kimia bisa diambil dengan sendok tanduk, spatula atau pipet (untuk bahan cair).
Setiap menambah atau mengambil beban dari pan penimbang, timbangan harus dalam keadaan tidak bergerak atau nol. Apabila selesai menimbang, alat timbangan dibersihkan dan dikembalikan dalam keadaan terkunci (Sudarmadji,1997). Pada praktikum kali ini, pengenalan alat yang digunakan meliputi bomb kalorimeter yang terdiri dari beberapa bagian (jaket, bucket,bomb) yang berfungsi untuk menguji total energi suatu bahan pakan ( Hendaryono, 1994).
Alat bom kalorimeter digunakan pada analisi energi bruto (gross energi), karena proses yang terjadi didalamnya adalah proses pembakaran seperti pada proses metabolisme dalam tubuh. Di dalam bom kalorimeter terdapat bucket yang berfungsi untuk melakukan proses pembakaran sampel. Juga terdapat crusible, tempat dimana sampel yang akan diuji disimpan.
5.2.2    Uji Fisik Bahan
5.2.2.1  Daya Ambang
Khalil (1999) menjelaskan bahwa daya ambang merupakan waktu yang dapat ditempuh oleh suatu partikel bahan jika dijatuhkan dari suatu ketinggian tertentu. Menurut Jaelani (2007), jika berat jenis tinggi maka akan mempengaruhi nilai daya ambang yang tinggi pula. Hal ini berarti apabila terjadi proses pencurahan bahan dari ketinggian tertentu maka waktu bahan tersebut untuk mencapai dasar akan lebih cepat. Daya ambang yang terlalu lama akan menyulitkan dalam proses pencurahan bahan karena dibutuhkan waktu yang lebih lama.
Menurut Khalil ( 1999 ) bahan pakan berupa tepung hijauan dengan ukuran partikel halus mempunyai daya ambang sebesar 1,98 m/dt. Sedangkan tepung hijauan dalam bentuk pelet memiliki daya ambang 10,9 m/dt. Dedak merupakan jenis pakan yang berbentuk tepung dengan ukuran partikel halus. Hasil praktikum daya ambang sebesar 0,25 m/dt. Jika dibandingkan dengan literatur maka hasil praktikum daya ambang dedak lebih kecil. Jika daya ambang suatu bahan kecil itu artinya bahan pakan tersebut dapat lebih cepat mencapai dasar pada saat melakukan pencurahan.
Perhitungan daya ambang bertujuan untuk :
1. Efisiensi pemindahan atau pengangkutan yang menggunakan alat penghisap.
2. Pengisisan silo yang menggunakan gaya gravitasi dan daya ambang berbeda akan terjadi pemisahan partikel (Sutardi, 2003). Sesuai literatur tersebut maka perhitungan daya ambang ini akan mempengaruhi untung atau ruginya suatu perusahaan pakan, karena terkait dengan proses pencurahan pakan yang akan dimasukan pada suatu tempat. Hal ini dipengaruhi juga oleh besar kecilnya partikel suatu bahan pakan. Semakin besar partikel suatu bahan pakan maka waktu yang ditempuh oleh bahan pakan untuk mencapai ke dasar akan semakin cepat.
5.2.2.2 Sudut Tumpukan
Pengukuran sudut tumpukan atau angle of repose adalah dengan cara menjatuhkan suatu sampel ke corong, kemudian ukur diameter dan tingginya. Hasil pengukuran sudut tumpukan adalah 37,23° dengan tinggi bahan pakan 7,5 cm dan diameter 19,5 cm. Hal ini sesuai dengan Mujnisa (2008), bahwa pakan berbentuk halus mempunyai sudut tumpukan kurang dari 20, selain itu besarnya sudut tumpukan dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan, bentuk, berat jenis, kerapatan tumpukan dan kadar air bahan. Ukuran bahan yang lebih kecil maka akan membentuk sudut tumpukan yang semakin besar. Pakan berbentuk padat mempunyai sudut tumpukan berkisar 20-50°.
Semakin tinggi tumpukan, maka semakin kurang bebas suatu partikel bergerak dalam tumpukan. Sudut tumpukan berperan antara lain dalam menentukan flowabivity (kemampuan mengalir suatu bahan, efisiensi pada pengangkutan atau pemindahan secara mekanik, ketepatan dalam penimbangan dan kerapatan kepadatan tumpukan (Thomson, 1993).
Khalil (1999) menyatakan bahwa sudut tumpukan merupakan sudut  yang dibentuk oleh bahan pakan yang diarahkan pada suatu bidang datar. Mujnisa (2008) menambahkan jika semakin tinggi sudut tumpukan, kebebasan bergerak suatu partikel semakin berkurang. Berdasarkan literatur tersebut maka perbedaan ukuran materi akan mengakibatkan pemisahan secara nyata apabila materi mempunyai sudut tumpukan. Oleh karena itu sudut tumpukan merupakan faktor yang mempengaruhi homogenitas campuran suatu bahan pakan, terutama pada saat proses pencampuran dalam mixer. Kebebasan suatu partikel bergerak dalam bidang dipengaruhi oleh besarnya sudut yang dibentuk dan gaya yang diberikan.
5.2.2.3 Luas Permukaan Spesifik (LPS)
Bahan pakan pada suatu berat tertentu mempunyai luas permukaan tertentu pula ( Sutardi, 2004 ). Menurut Khalil ( 1999 ), LPS adalah luas permukaan bahan pakan pada berat tertentu. Peran luas permukaan spesifik untuk mengetahui tingkat kehalusan dari bahan pakan tanpa diketahui distribusi ukuran komposisi partikel secara keseluruhan.
Hasil praktikum diperoleh LPS dedak sebesar 33 cm²/gr. . Hal ini berarti partikel yang semakin akan menutupi seluruh permukaan hingga tertutup rapat. Kadar sampel yang semakin halus juga akan semakin meningkatkan daya cerna oleh ternak. Dengan diketahui LPS suatu bahan pakan berarti menunjukan seberapa halus bahan pakan tersebut atau dalam bentuk apa bahan pakan tiap gramnya. Jika nilai LPSnya kecil dalam tiap gramnya, maka sampel tersebut berbentuk butiran – butiran kasar atau kristal (Raharjo, 2002), semakin halus kadar sampel, maka semakin baik daya cernanya bagi ternak.
Apabila luas permukaan spesifik besar atau tingkat kehalusan tinggi maka dalam suatu packaging akan memuat bahan pakan yang lebih banyak, hal ini berarti transportasi dan penyimpanan akan menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Jaelani (2007), yang menyatakan bahwa keefisienan suatu proses penanganan, pengolahan dan penyimpanan dalam industry pakan tidak hanya membutuhkan informasi tentang komposisi kimia dan nilai. Berdasarkan literatur tersebut maka tingkat kehalusan suatu bahan pakan berpengaruh pada proses penanganan pakan di tempat pengolahan pakan. Tingkat kehalusan ini tergantung dari besar atau kecilnya partikel bahan pakan. Semakin kecil partikel maka permukaannya akan semakin halus sehingga nilai LPSnya semakin tinggi
5.2.2.4 Berat Jenis
Berat jenis merupakan perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya, satuanya adalah gr/ml. Berat jenis diukur dengan menggunakan hukum Archimedes ( Mujnisa, 2008 ). Berat jenis  memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan, dan penyimpanan ( Jaelani, 2007). Perbedaan niali berat jenis pada masing-masing kelompok dipengaruhi oleh karakteristik permukaan partikel dan pemasukan sampel pada gelas ukur yang kurang teliti, distribusi permukaan partikel dan karakteristik permukaan partikel.
Hasil praktikum berat jenis dedak adalah 0,289 gr/ml. Dari hasil tersebut menunjukan bahwa nilai tersebut kurang dari berat jenis air. Berat jenis selain dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik permukaan partikel juga dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Khalil (1999) adanya variasi dalam nilai berat jenis dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan, distribusi ukuran partikel dan karakteristik permukaan partikel.
Besarnya berat jenis pakan penting diketahui karena apabila suatu bahan pakan mempunyai nilai densitas yang rendah yaitu perbandingan antara berat bahan dengan volume lebih besar berarti intake untuk ternak hanya sedikit atau sebaliknya. Pakan yang baik adalah nilai densitasnya lebih besar sehingga intake pakan meningkat (Sudarmadji, 1997). Jika berat jenis < 1 maka pakan akan mengapung di dalam rumen, sedangkan berat jenis > 1 maka pakan tersebut akan berada di dalam rumen bagian bawah.
Berat jenis berpengaruh terhadap hemoginitas penyebaran partikel dan stabilitas suatu campuran pakan. Ransum yang tersusun dari bahan pakan yang memiliki perbedaan berat jenis cukup besar, akan menghasilkan campuran tidak stabil dan mudah terpisah kembali ( Chung and Lee, 1995 ). Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Jaelani (2007), apabila bahan mempunyai berat jenis partikel yang berbeda jauh, maka cenderung memisah setelah mixing dan handling.  Partikel yang lebih padat atau rapat berpindah ke bawah melewati partikel lam yang lebih halus atau ringan. Hal ini sama seperti saat memasukan sampel ke dalam gelas, jika terlalu padat maka hasil pengukuran akhir akan berubah. Berat jenis digunakan untuk menetukan volume ruang yang diperlukan dalam pergudangan, volume ruang yang dipakai yaitu sekitar 70%.
5.2.3   Analisis Proksimat
   Analisis proksimat merupakan pengujian laboratorium bahan pakan yang akan diformulasi dan diolah menjadi ransum pellet, crumble, mash, dan parameter pengujian. Parameter pengujian ini meliputi parameter kadar air, protein kasar, lemak kasar, SK, abu, Ca, dan P. Hasil analisis proksimat sangat penting dan akurasinya sangat berguna dalam formulasi ransum terhadap mutu pakan jadi yang dihasilkan. Dari sistem analisis proksimat dapat diketahui adanya enam fraksi. Komponen Berbagai Fraksi Hasil Analisis Proksimat menurut Soejono, 1990 yaitu : 1) Air, memiliki kandungan air dan senyawa organik yang mudah menguap; 2) abu, mempunyai berbagai kandungan mineral ; 3) protein kasar, mempunyai berbagai macam kandungan protein, asam amino dan NPN; 4)lemak kasar, tentunya memiliki kansdungan minyak, lemak, asam organik, lilin, pigmen,  serta vitamin ADEK; 4) serat kasar, fraksi yang terkandung didalamnya adalah hemiselulosa, selulosa serta lignin; dan 5) BETN merupakan fraksi yang memiliki kandungan pati, gula, selulosa, lignin, serta selulosa. 
Menurut Kamal ( 1994 ), menyatakan bahwa disebut analisis proksimat karena hasil yang diperoleh hanya mendekati nilai yang sebenarnya. Oleh karena itu untuk menunjukan nilai dari sistem analisis proksimat selalu dilengkapi dengan istilah minimum atau maksimum sesuai dengan manfaat fraksi tersebut. Bahan organik dapat dipisahkan menjadi komponen nitrogennya yang kemudian dihitung sebagai protein dengan teknik kyeldahl dan bagian lainya adalah bahan organik tanpa nitrogen. Bahan organik tanpa N dapat dipisahkan menjadi karbohidrat dan lemak. Selanjutnya karbohidrat dapat dipisah menjadi serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen. (Sutardi, 2012).
Beberapa kelemahan analisis proksimat, yaitu (a) system tidak mencerminkan zat makanan secara individu dari zat makanan, (b) kurang tepat, terutama analisis serat kasar dan lemak kasar, akibatnya untuk kalkulasi BETN juga kurang tepat, (c) proses memerlukan waktu yang cukup lama, (d) tidak dapat menerangkan lebih jauh tentang daya cerna, palatabilitas dan tekstur suatu bahan pakan (Soejono, 2004).
5.2.3.1  Analisis Kadar Air  
Air merupakan zat makanan terpenting, dan memiliki berbagai fungsi, diantaranya adalah sebagai pelarut vitamin, pelumas persendian, sebagai cairan cerebrospinal dan sebagai bantalan urat syaraf. Menurut Krishna ( 1980 ), komponen air adalah air dan senyawa yang mudah menguap. Yang dimaksud air dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang menguap pada pemanasan selama beberapa waktu pada suhu 105°C ( Sutardi, 2012 ). Sesuai literatur tersebut kadar air dalam sampel daun pepaya dapat diketahui setelah sampel dioven pada suhu 105°C sealam 8 jam. Patokan waktu ini diasumsikan bahwa semua air pada sampel telah menguap semua.
 Penentuan kadar air dilakukan dengan dua metode yaitu penyulingan langsung dan tidak langsung (oven). Namun yang dilakukan pada praktikum mengenai pengukuran kadar air adalah metode tidak langsung ( oven ). Pengukuran kadar air dengan metode oven juga sesuai dengan SNI 01-2891-1992, pengukuran kadar air total dilakukan dengan metode termogravimetri ( oven ). Penentuan kadar air minimal 24 jam. Banyaknya air yang terkandung di dalam suatu bahan pakan dapat diketahui jika bahan pakan dipanaskan (Hartadi, 1992).
Hasil praktikum menunjukan bahwa kadar air daun pepaya adalah 9,4 %. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sutardi (2012), bahan yang dikeringkan pada suhu 105°C, diasumsikan 100% bahan kering/ bahan dasar kering adalah memiliki kadar air dibawah 12%. Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar air salah satunya adalah metode pengeringan dan kandungan air dari suatu bahan pakan. Pakan dapat disimpan jika bahan pakan mempunyai kandungan air maksimal 14%., karena kandungan air yang cukup tinggi akan merusak nutrien dari bahan pakan karena didegadasi oleh bakteri.
5.2.3.2  Analisis Kadar Abu
Penetapan kadar abu dengan menggunakan metode pengabuan kering ( dry ashing ). Menurut Sudarmadji ( 1997 ) untuk menghindari adanya berbagai komponen abu yang mengalami dekomposisi atau bahkan menguap pada suhu tinggi maka pengabuan disesuaikan dengan bahan. Komponen abu pada analisis proksimat tidak memberikan nilai makanan yang penting karena abu tidak mengalami pembakaran sehingga tidak menghasilkan energi ( Soejono, 1990 ).
Kadar abu suatu bahan pakan ditentukan dengan pembakaran bahan tersebut pada suhu tinggi ( 500-600°C ). Pada suhu tinggi bahan organik yang ada akan terbakar dan sisanya merupakan abu ( Nahm, 1992 ). Abu terdiri dari unsur mineral, namun bervariasi kombinasinya unsur mineral dalam bahan pakan asal tanaman menyebabkan abu tidak dapat dipakai sebagai indek untuk menentukan jumlah unsur mineral tertentu. Penetapan kadar abu berakhir setelah sampel yang ditanur berubah warna menjadi putih seperti abu. Banyak sedikit kadar abu dipengaruhi oleh kualitas bahan pakan itu sendiri.
Hasil praktikum menunjukan bahwa kadar abu daun pepaya adalah 11 %. Hali ini sesuai dengan pernyataan dari Amrullah (2003) yang menyatakan bahwa kadar abu pada umumnya 8-15 %. Menurut Tillman ( 1993) kadar abu dalam pakan hanya untuk menentukan BETN. Maka setelah mengetahui kadar abu dari bahan pakan, dapat juga diketahui kandungan bahan organiknya yaitu sebanyak 84%. Biasanya bahan pakan yang memiliki kandungan kadar abu lebih banyak, tidak disukai oleh ternak terutama oleh ternak ruminansia.
5.2.3.3 Protein Kasar
Protein merupakan salah satu zat makanan yang berperan dalam penentuan produktivitas ternak. Jumlah protein dalam pakan ditentukan dengan kandungan nitrogen bahan pakan melalui metode kjeldahl yang kemudian dikali dengan faktor protein : 6,25. Angka 6,25 diperoleh dengan asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen ( Soejono, 1990 ). Selanjutnya ditambahkan oleh Anggorodi (1997), protein merupakan zat organic yang mengandung karbon, hydrogen, nitrogen, oksigen, sulfur serta fosfor. Zat tersebut merupakan zat pakan utama. Yang mengandung nitrogen, protein adalah essensial bagi kehidupan karena zat tersebut merupakan protoplasma aktif dalam semua sel hidup.
Protein kasar merupakan nama kumpulan atau mengetengahkan lebih dari 20 asam amino dan tiap-tiap asam amino punya fungsi khusus dalam metabolisme. Semua protein tanaman dan hewan terdiri dari beberapa asam amino yang merupakan satuan penyusun protein tubuh. Bila asam amino yang termakan berlebih dan melebihi kebutuhan maka kelebihannya akan dideaminasi dan sisa non introgennya dijadikan sebagai cadangan energy.  Protein mengandung ± 5,5 kkal/gr bahan kering. Jika digunakan sebagai sumber energi maka ± 1,25 kkal dari energi dikeluarkan dari tiap unit protein ( Tillman, 2005).
Penentuan kadar protein melalui metode kjeldahl dilakukan melalui tahap sebagai berikut :
1. Proses destruksi (oksidasi), perubahan N protein menjadi amonium sulfat ((NH4­)2 SO4).
2. Proses Destilasi (Penyulingan). Pada proses ini terdapat penambahan NaOH sehingga menyebabkan (NH4)2SO4 akan melepaskan amoniak (NH3). Hasil sulingan uap NH3 dan air ditangkap oleh larutan H2SO4 yang terdapat dalam labu erlenmeyer dan membentuk senyawa (NH4)2SO4 kembali. Penyulingan dihentikan bilasemua N sudah tertangkap oleh asam sulfat dalam labu erlenmeyer. NH3 + H2SO4                   (NH4)2SO4 + H2SO4
3. Proses titrasi, kelebihan H2SO4 yang tidak digunakan untuk  menangkap N dititrasi dengan HCL. Titrasi dihentikan jika larutan berubah menjadi merah muda.
Menurut Tillman dkk ( 2005 ), kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein dalam ransum. Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umunya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pecernaan.
Hasil yang diperoleh untuk protein kasar pada daun pepaya adalah 31,5 %. Itu berarti pada daun pepaya mengandung protein yang tinggi. Serta mempunyai tingkat kecernaan yang tinggi jika dikonsumsi oleh ternak. Hal ini diperjelas dengan pendapat Wati ( 2012 ), daun yang luas akan meningkatkan penangkapan cahaya, nitrat, dan fosfat yang diperlukan sebagai bahan dasar penyusun protein dan pembentukan klorofil dalam proses fotosintesis.
Kandungan nitrogen juga dapat dilihat dari warna daun pada sampel. Menurut Wati ( 2012 ), nitrogen yang cukup akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan warna daun menjadi hijau tua. Sedangkan apabila kekurangan nitrogen dapat menyebabkan daun berwarna coklat, tanaman terlambat membentuk sel-sel sehingga pertumbuhan menjadi lambat dan kerdil.
5.2.3.4 Lemak Kasar
Menurut Soejono (1990) Istilah lemak kasar menggambarkan bahwa zat dimaksud bukan hanya mengandung senyawa yang tergolong ke dalam lemak tetapi termasuk senyawa lain. Kandungan lemak dalam bahan dapat ditentukan dengan metode soxhlet, yaitu proses ekstraksi suatu bahan dalam tabung soxhlet dengan menggunakan pelarut lemak seperti eter, kloroform atau benzene. Pada praktikum kali ini ekstraksi lemak menggunakan petrolium benzen. Proses ekstraksi selesai setelah sampel berubah warna menjadi bening, karena diasumsikan semua lemaknya sudah terekstraksi.
Hasil yang diperoleh untuk kadar lemak adalah 4,9 %. Hasil ini diperoleh setelah sampel dikeringkan dalam oven sebanyak dua kali pengeringan selama 14 jam. Menurut Kamal (1998), tinggi rendahnya kadar lemak pada tanaman dipengaruhi oleh spesies, umur dan perbedaan bagian yang digunakan untuk sampel. Lemak pada tanaman terutama terdapat pada biji-bijian sebangsa legum. Hasil samping yang berupa bungkil jelas lebih rendah daripada bijinya, sebab bungkil merupakan hasil samping dari pembuatan minyak bji tanaman.
Lemak kasar adalah campuran berbagai senyawa yang larut dalam pelarut lemak seperti kloform, eter dan benzena. Oleh karena itu lemak kasar lebih tepat disebut eter ekstrak. Disebut lemak kasar karena merupakan campuran dari beberapa senyawa larut dalam lemak (Anggorodi, 1997). Selain mengandung lemak sesungguhnya ekstrak eter juga mengandung wax, asam organik, alkohol, vitamin A, D, E, K dan pigmen. Karena mempunyai konsentrasi energi paling tinggi dan mempunyai struktur intra molekur karbon dan hidrogen yang banyak, sehingga lemak merupakan sumber kalori yang penting disamping berperan sebagai pelarut vitamin.
Defisiensi lemak pada ransum akan mengakibatkan gangguan pencernaan, penurunan efisiensi pakan, gangguan reproduksi dan laktasi, kulit bersisik, bulu rontok, pertumbuhan sub optimal, dan kematian. Kelebihan lemak pada ransum akan mengakibatkan lemak tubuh menjadi lunak dan kualitas karkas menurun (Tillman, 1993).
5.2.3.5 Serat Kasar
Soejono (1990), menyatakan bahwa serat kasar merupakan bagian dari karbohidrat dan didefinisikan sebagai fraksi yang tersisa setelah didigesti dengan larutan asam sulfat standar dan sodium hidroksida pada kondisi yang terkontrol. Metode pengukuran kandungan serat kasar pada dasarnya mempunyai konsep yang sederhana. Langkah pertama metode pengukuran kandungan serat kasar adalah menghilangkan semua bahan yang larut dalam asam dengan pendidihan dalam asam sulfat. Bahan yang larut dalam alkali dihilangkan dengan pendidihan dalam larutan sodium alkali. Residu yang tidak larut dikenal sebagai serat kasar.
Serat kasar merupakan ukuran yang cukup baik dalam menentukan serat dalam sampel. Pada ternak ruminansia, fraksi ini sangat terbatas nilai nutrisinya sehingga pengukuran serat kasar hanya merupakan pedoman proporsional dalam pakan yang digunakan oleh ternak (Suparjo, 2010)
Serat kasar yang terdapat dalam pakan sebagian besar tidak dapat dicerna pada ternak nonruminansia, namun digunakan secara luas pada ternak ruminansia. Sebagian besar berasal dari sel dinding tanaman dan mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Tingginya serat kasar ini umumnya didominasi oleh lignoselulosa ( karbohidrat kompleks ) yang sulit dicerna ( McDonald et a., 2000 ). Hasil yang diperoleh terhadap pengukuran  serat kasar pepaya adalah 14%. Kandungan serat kasar suatu bahan bergantung dari defoliasi suatu bahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Sutardi ( 2012 ), bila defoliasi terlalu tua kndungan serat kasar dalam hijauan semakin tinggi, dan serat kasar tersebut dapat berikatan dengan lignin sehingga disebut senyawa lignaselulosa yang tidak tercerna.
Serat kasar sangat penting dalam penilaian kualitas bahan pakan karena angka ini merupakan indeks dalam menentukan nilai gizi suatu bahan pakan. Dengan demikian prosentase kadar serat kasar dapat dipakai untuk menentukan kemurnian bahan pakan atau efisiensi suatu proses (Sudarmadji, 1989). Serat kasar dibutuhkan oleh ternak ruminansia untuk dicerna oleh mikroba VFA. Kualitas suatu bahan pakan dapat dilihat dari kandungan serat kasarnya. Semakin tinggi kandungan serat kasarnya maka kualitas bahan pakan tersebut semakin buruk. Karena serat kasar yang terlalu tinggi akan mengakibatkan degradasi dalam rumen, sehingga pakan akan sulit untuk dicerna.

5.2.4   Free Fatty Acid (FFA)
Asam lemak bebas yaitu nilai yang menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang ada di dalam lemak atau jumlah yang menunjukkan berapa banyak asam lemak bebas yang terdapat dalam lemak setelah lemak tersebut di hidrolisa. Analisis kimia untuk mengetahui asam lemak bebas pada bahan pakan dilakukan dengan proses AOAC (1990). Menurut Sutardi ( 2012 ), penetapan asam lemak bebas  berprinsip bahwa lemak bebas yang terdapat paling banyak minyak tertentu. Dalam analisis ini diperhitungkan banyaknya zat yang terlarut dalam basa/asam didalam kondisi tertentu. Kebanyakan asam lemak memiliki gugus karboksil ( COOH ) dan sebuah ikatan alifatik.
Berdasarkan hasil praktikum penetapan kadar FFA diperoleh kadar FFA daun pepaya 0,4 %. Hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor, salah satunya adalah suhu kamar, minyak dan faktor lemak jenuh. Menurut Danuwarsa ( 2006 ), trigliserida dapat berbentuk padat tau cair, bergantung pada komposisi asam lemak yang menyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, sedangkan lemak hewani pada umumnya berbentuk padat pada suhu kamar karena banyak mengandung asam lemak jenuh.
Kandungan kadar FFA yang tinggi pada suatu bahan pakan dapat menyebabkan ketengikan. Menurut Mustari dkk (2000), bau tengik misalnya disebabkan oksidasi dari asam-asam lemak tidak jenuh yang terdapat pada minyak dan lemak. Terjadinya perubahan warna pada bahan pakan menandakan bahwa pakan tersebut manurun kualitasnya, dijumpai misalnya pada dedak terjadi perubahan warna dari warna asli kuning kecoklatan menjadi merah jambu bahkan sampai hitam. Pada jagung kuning yang berwarna kuning berubah menjadi coklat sampai hitam akibat tumbuh jamur pada jagung tersebut.
Lemak lipida adalah ester dari asam-asam lemak hydra alkohol yang didalamnya berupa zat-zat yang tidak larut dalam air. Minyak dan lemak dapat diperoleh dari hewan maupun tumbuhan ( Tillman, 1993 ). Minyak nabati terdapat pada buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian, akar tanaman dan sayuran. Sedangkan minyak hewani terdapat pada bangsa ikan.
Proses kimiawi yang dapat terjadi dalam penyimpanan pakan adalah terjadi perubahan atau kerusakan kandungan lemak dari pakan tersebut. Kerusakan bijian dan bahan makanan pada penyimpanan dengan kondisi temperature dan kadar air tinggi, terutama disebabkan oleh meningkatnya aktivitas enzim lipase dalam hidrolisis lemak dimana lemak dipecah menjadi asam lemak bebas dan glycerol. Hal ini sesuai dengan pendapat Citrawidi ( 2012 ), enzim lipase dapat memecahkan ikatan ester pada lemak dan gliserol.
Daun pepaya mengandung enzim lipase, selain itu mengandung lisin dan arginin yang dapat menurunkan lemak daging. Enzim lipase dapat memecahkan ikatan ester pada lemak dan gliserol. Salah satu bentuk lemak yang terdapat pada tubuh adalah trigliserida. Trigliserida adalah suatu ester gliserol, terbentuk dari tiga asam lemak dan gliserol. Trigliserida akan dipecah oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam lemak lepas kedalam pembuluh darah( Citrawidi, 2012 ).
Perlakuan cara pengeringan dengan sinar matahari memberikan nilai kadar asam lemak bebas yang lebih tinggi dibanding dengan pengeringan secara oven dan diantara dua perlakuan tersebut menunjukan ada beda nyata. Hal ini disebabkan karena inaktifnya enzim oleh panas yang berbeda, karena pada pengering mekanis (drier) memberikan suhu yang lebih tinggi sehingga menimbulkan panas yang lebih tinggi akan memberikan nilai kadar asam lemak bebas yang lebih kecil disbanding pengeringan dengan sinar matahari. Menurut Hartley (1977) dalam Winarno (1987), menyatakan bahwa enzim lipase tidak aktif sama sekali pada temperatur yang tinggi. Disamping itu dengan adanya perbedaan kadar air dalam bahan juga akan berpengaruh pada proses hidrolisa yang terjadi dan semakin tinggi kadar air dalam bahan makaakan semakin cepat proses hidrolisa berlangsung, dengan demikian semakin besar pula asam lemak bebas yang terbentuk.
5.2.5    Gross Energy
Energi diperlukan untuk kelangsungan hidup ternak diantaranya untuk : 1)kerja secara mekanis dari aktivitas muskular yang esensial, 2) kerja secara kimiawi seperti pergerakan zat terlarut melawan gradien konsentrasi, dan 3) sintetis dari konstituen tubuh seperti enzim dan hormon. Energi diperlukan untuk mempertahankan fungsi-fungsi tubuh ( respirasi, aliran darah, dan fungsi sistem syaraf ). Selain itu energi juga diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan produk ( susu, daging, telur ) ( Mujnisa, 2008 ).
Energi total atau gross energi pakan adalah jumlah energi kimia dalam pakan. Energi ini ditentukan dengan mengubah energi kimia menjadi energi panas yang dihasilkan. Konversinya dijalankan dengan membakar sampel pakan dan mengukur panas yang terjadi. Panas ini diketahui sebagai energi total atau panas pembakaran dari pakan.
Gross Energy didefinisikan sebagai energi yang dinyatakan dalam panas bila suatu zat dioksider secara sempurna menjadi CO2 dan air. Tentu saja CO2 dan air ini masih mengandung energi, akan tetapi dianggap mempunyai tingkat nol karena hewan sudah tidak bisa memecah zat-zat melebihi CO2 dan air. Gross Energy diukur dengan alat bomb kalorimeter. Apabila N dan S terdapat dalam senyawa sampingan karbon H dan O (C, H dan O). Unsur-unsur tersebut akan timbul sebagai oksida nitrogen dan sulfur pada waktu senyawa itu dioksider dalam bomb kalorimeter. Analisis kimia untuk mendapatkan energi bruto bahan pakan dengan prosedur AOAC (1990).
Energi disimpan didalam karbohidrat, lemak dan protein  dari dahan makanan. Semua bahan tersebut mengandung karbon (C) dan hidrogen ( H ) dalam bentuk yang dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air yang menunjukan energi potensial untuk ternak. Lemak yang dioksidasi secra sempurna dalam tubuh menghasilkan 9,3 kalori/gr lemak. Sedangkan protein dan karbohidrat masing-masing menghasilkan 4,1 dan 4,2 kalori/gr ( Sediatama, 1987).
Hasil praktikum GE adalah 2768,85 j.  Menurut Rasyaf ( 1994 ), Tinggi rendahnya energi dipengaruhi oleh kandungan protein, karena protein berperan sekali terhadap pertumbuhan sehingga mempengaruhi jumlah ransum yang masuk ke dalam tubuh. Nilai energy bruto dari suatu bahan pakan tergantung dari proporsi karbohidrat, lemak dan protein yang dikandung bahan pakan tersebut.Air dan mineral tidak menyumbang energy pakan tersebut. Nilai energy bruto tidak menunjukan energy tersebut tersedia untuk ternak atau tidak tersedia, tergantung dari kecernaan bahan pakan tersebut.
Nilai energi bruto tidak menunjukan energi tersebut tersedia untuk ternak atau tidak tersedia, tergantung dari kecernaan bahan pakan tersebut. Penambahan DL-Methionin mampu menurunkan jumlah energy bruto yang dibuang melalui sekreta sehingga energy bruto yang diserap atau dicerna meningkat. Proses pengeluaran nitrogen melalui ekskreta membutuhkan energi sehingga dapat menyebabkan penurunan energy metabolis ( Sibbald, 1985)


VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1              Kesimpulan
1.       Bahan pakan hijauan terdiri dari gramineae(sumber serat atau karbohidrat), leguminosa(sumber protein), browse atau ramban (sumber serat dan protein), dan limbah pertanian (sumber serat).
2.       Bahan pakan konsentrat terdiri atas sumber energi (jagung, millet, bekatul, molases, ongok), sumber protein (bungkil-bungkilan, tepung ikan, dsb), sumber mineral (fhospat alam, tepung cangkang kerang, tepung cangkang keong, tepung kerabang telur, kapur), sumber vitamin sumber zat additives.
3.       Nomenklatur bahan pakan diberikan berdasarkan tatanama internasional yang berdasarkan enam faset, yaitu : Asal mula (Origin); Bagian (Part) yang diberikan kepada ternak; Proses yang dialami oleh bagian tadi; Tingkat kedewasaan; Pemotongan (hijauan); Grade (Garansi pabrik).
4.       Fungsi alat-alat laboratorium berbeda satu dan yang lainnya, demikian pula dengan cara penggunaannya harus sesuai dengan ketentuan agar didapatkan hasil yang benar.
5.       Sudut tumpukan bahan pakan pollard sebesar 37,23º.
6.       Berat jenis bahan pakan dedaksebesar 0,289 gr/ml.
7.       Daya ambang bahan pakan dedak sebesar 0,25 m/s.
8.       Luas permukaan spesifik dedaksebesar 33 cm²/gr.
9.       Kadar air padadaun pepayaadalah 9,4 % dan BK 90,6 %.
10.     Kadar abu  pada daun pepayaadalah 11 %.
11.     Kadar lemak kasar pada daun pepayaadalah 4,9 %.
12.     Kadar serat kasar pada aun pepayaadalah 14 %.
13.     Kadar protein kasar pada daun pepaya adalah 31,5%.
14.     Penetapan asam lemak bebas berprinsip bahwa lemak bebas yang terdapat paling banyak pada minyak tertentu.
15.     % FFA didapat sebesar 0,4%.
16.     % FFA dipengaruhi oleh perlakuan pengeringan, enzim lipase dan kadar air suatu bahan pakan .
17.     Semakin tinggi kadar air dalam bahan maka akan semakin cepat proses hidrolisa berlangsung, dengan demikian semakin besar pula asam lemak bebas yang terbentuk.
18.     Energi bruto sebesar 2768,85 Kkal.
19.     Nilai Energi Bruto dipengaruhi oleh proporsikarbohidrat, lemakdan protein yang dikandungsuatu bahanpakan.
6.2              Saran
1.       Harus lebih teliti dalam setiap pengukuran.
2.       Harus lebih teliti dalam melakukan analisis proksimat.
3.       Perlu diperhatikan cara menentukan batas tinggi cairan yang diukur dalam proses titrasi.
4.       Harus lebih teliti dalam melakukan perhitungan.
5.       Penetesan indikator tidak boleh terlalu banyak.















                                               DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Luki dkk. 2005. “Reposisi Tanaman Pakan dalam Kurikulum Fakultas Peternakan. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak.
Anggoradi. 1997. Ilmu Mkanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta.
Amrullah, I.K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunung Budi : Bogor.
AOAC. 1990. Official Methods of Analisis. Asosiaion  of Official Analitic Chemist. Washington DC. USA.

Chung, C.H,R Blain, dkk. 1998. Physical and Chemical Characteristics of Malaysian Palm Kernel Lake ( PKC ). Proc 20th MSAP Conf. 27-28 Juli. Putra Jaya Malaysia.

Citrawidi, T.A dkk. 2012. “Pengaruh Pemeraman Ransum dengan Sari Daun Pepaya  terhadap Kolesterol Darah dan Lemak Total Ayam Broiler”. Animal Agriculture Journal Vol.1 No.1

Danuarsa. 2006. “Analisis Proksimat dan Asam Lemak Pada Beberapa Komoditas Kacang-kacangan”. Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1

Fardiaz, S. 1995. “ Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan di Indonesia.: Tantangan dan Penerapan Sistem Jaringan Mutu. Bulletin dan Teknologi dan Industri Pangan.

Guntoro, Suprio. 2008. Membuat Pakan Ternak dari Limbah Perkebunan. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Haris, L.E. 1970. Nutrition Research Technique for Domestic and Wild Animal. Vol. 1 Utah State University. Logan. Utah.

Hartadi, Hari. 1992. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Hartati, Sri. 2002.  Nutrisi Ternak Dasar. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Jaelani, Achmad, DKK. 2007. “ Kualitas Sifat Fisik dan Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit dari Berbagai Proses Pengolahan Trude Palm Oil (CPO). Jurnal AL-Ulum Vol. 33 No. 3.


Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Khalil. 1999. “Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel terhadapSifat Fisik Pakan Lokal : Sudut Tumpukan, Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan Tumpukan, Berat Jenis, Daya Ambang, dan Faktor Higroskopis”. Media Peternakan 22 (1) : 1 – 11.

Krishna , G. 1980. Laboratory Manual for Nutrition Research.Vika Publishing House PUL. Ltd. Sahibabat India.

Lubis, D. A. 1993. Ilmu Makanan Ternak. PT Pembangunan. Bogor.

Mc Donald, P., RA. Edwards. JFG Greenhalgh, and CA. Morgan. 2002. Animal Nutrition Prentice Hall

Murni, dkk. 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Fakultas Peternakan Jambi. Jambi

Mustari, S.P dkk. 2000. Pembuatan Pakan Ternak Unggas. Penerbit CV. Amisco.: Jakarta.

Nahm, K.H. 1992. Particial Guide to Feed, Forages and Water Analysis. Yoo Han Rob. Korea Republika.

Rahardjo,Tri S., W. Suryapratama, Munasik, dan T. Widiyastuti. 2002. Bahan Kuliah Ilmu Bahan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Rasyaf, M. 1994. Pakan Ayam Broiler. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sibbald, I.R. and M.S. Wolynetz. 1985. Relationships between estimates of bioavailable energy made with adult cockrerels and chicks: Effect of feed intake and nitrogen retention. Poultry Sci., 64: 127-138.

Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Suparjo.2010. AnalisisBahanPakanSecaraKimiawi.LaboratoriumMakananTernak. FakultasPeternakan. Universitas Jambi. Jambi.

Sudarmadji,S. 1997. Prosedur untuk Analisa Bahan Pakan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Sutardi, T. R. Dan S. Rahayu. 2003. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto

Sutardi, T.R. 2004. Ilmu Bahan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Sutardi, T.R. 2012. Ilmu Bhan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Thomson, F. M. 1993. Hand Bookof PowdersScience and Technology 391, 393, eds, M. E. Fayed and L. Otten. New York.

Tillman. 1993. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Tillman, A.D., dkk. 2005. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wati, R. Sumarsono, dkk. 2012. “ Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar Eceng Gondok sebagai Sumber Daya Pakan di Perairan yang Mendapat Limbah Kototran Itik”. Animal Agriculture Journal Vol. 1 No. 1.

Winarno, F.G. 1987. EnzimPangan. Gramedia. Jakarta.